Selain berdasarkan sektor dan sifatnya, investor saham juga sering membedakan saham-saham yang ada di Bursa Efek Jakarta (BEJ) berdasarkan kapitalisasi pasarnya (market capitalization). Ada saham berkapitalisasi pasar besar, menengah, dan saham berkapitalisasi kecil. Masing-masing tentu punya karakter serta kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.
KAPITALISASI pasar atau market capitalization atau market cap adalah nilai sebuah perusahaan berdasarkan perhitungan harga pasar saham dikalikan dengan jumlah sahamnya yang beredar. Ambil contoh, kemarin, saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp 217,73 triliun. Soalnya, jumlah saham TLKM yang beredar mencapai 20,16 miliar, adapun harganya di pasar adalah Rp 10.800 per saham.
Melihat data itu, kita bisa mengatakan, investor menilai bahwa perusahaan Telkom bernilai Rp xxx triliun. Inilah konsensus investor tentang nilai perusahaan Telkom.
Tapi, kita harus hati-hati menggunakan data market cap ini. Pasalnya, seperti sudah disinggung, kapitalisasi pasar dihitung menggunakan komponen harga pasar saham. Sementara, harga pasar saham itu ditentukan oleh banyak hal.
Lazimnya, harga saham jauh di atas nilai buku per saham perusahaan karena harga pasar itu mencerminkan ekspektasi investor atas prospek suatu perusahaan di masa yang akan datang. Dalam hal ini, investor juga memasukkan prospek ekonomi di masa mendatang.
Masalahnya, terkadang, harga saham juga sangat ditentukan oleh faktor spekulasi dan esti-masi prospek perusahaan yang berlebihan. Jika ini terjadi, harga suatu saham biasanya akan naik amat tinggi, jauh meninggalkan nilai bukunya. Akibatnya, market cap saham perusahaan itu akan menggelembung secara berlebihan jauh melewati prospek perusahaan yang sebenarnya.
Inilah yang disebut bubble atau gelembung. Karenanya, ketika melihat market cap, investor juga harus melihat kewajaran harga saham itu.? Jika Anda adalah tipe investor yang cenderung menghindari risiko, sebaiknya Anda berinvestasi di saham-saham berkapitalisasi pasar besar (big cap). Sebab, risiko kebangkrutan maupun fluktuasi harga di saham-saham perusahaan big cap relatif rendah. Cuma, investor harus menyediakan modal yang lebih besar untuk bisa bermain di saham-saham ini. Soalnya, umumnya, pecahan harga saham big cap lumayan besar.
SAHAM-SAHAM berkapitalisasi pasar besar (big cap) umumnya didominasi oleh saham-saham perusahaan besar yang telah mapan.
Di Bursa Efek Jakarta (BEJ), misalnya, saham yang memiliki nilai kapitalisasi pasar paling besar adalah saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk atau Telkom. Kamis lalu (13/9), saham perusahaan berkode TLKM ini memiliki nilai kapitalisasi pasar Rp 217,7 triliun. Kapitalisasi pasar saham Telkom ini mencapai 13,82% dari total nilai kapitalisasi seluruh saham-saham di BEJ yang mencapai Rp 1.575,8 triliun per Kamis lalu (13/9).
Beberapa saham lain yang masuk kategori 10 besar big cap di BEJ misalnya: saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp 76,2 triliun, saham PT Astra International Tbk (ASII) Rp 72,9 triliun, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Rp 72,6 triliun, saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 64,5 triliun, saham PT Bumi Resources Tbk Rp 57,2 triliun, dan saham PT Perusahaan Gas negara Tbk ((PGAS) sebesar Rp 47,4 triliun.
Nah, risiko berinvestasi di saham-saham berkapitalisasi pasar besar seperti itu biasanya relatif lebih rendah dibanding dengan saham-saham small cap. Maklum, pertama, seperti sudah disinggung tadi, sebagian besar big cap itu merupakan perusahaan-perusahaan besar yang sudah mapan. Jadi, sangat kecil kemungkinan bahwa perusahaan-perusahaan itu akan bangkrut.
Kedua, karena nilai kapitalisasi pasarnya sangat besar, harga saham-saham itu juga tak mudah dipermainkan. Sebab, para bandar akan memerlukan dana yang sangat besar untuk bisa mempengaruhi harga saham big cap. Jadi, risiko fluktuasi harganya juga lebih kecil.? Di bursa saham Indonesia memang belum ada batasan yang resmi tentang kategori saham-saham berdasarkan nilai kapitalisasi pasarnya. Tapi, yang pasti, investor yang tak mampu memikul risiko tinggi sebaiknya tak mendekati saham-saham berkapitalisasi pasar kecil.
SAHAM-SAHAM yang masuk kelompok kapitalisasi pasar menengah adalah saham-saham perusahaan kelas menengah. Sementara yang berkapitalisasi pasar kecil (small cap) adalah saham-saham perusahaan kecil.
Di Amerika Serikat (AS), ada batasan yang jelas tentang kategori saham-saham berdasarkan nilai kapitalisasi pasarnya. Misalnya, saham yang masuk kelompok big cap adalah saham berkapitalisasi pasar sekitar US$ 10 miliar atau lebih. Adapun yang masuk kelompok kapitalisasi pasar menengah (mid-cap) nilai kapitalisasi pasarnya sekitar US$ 1 miliar sampai US$ 10 miliar.
Kategori small cap mencakup saham-saham berkapitalisasi pasar antara US$ 250 juta sampai US$ 1 miliar. Jika nilai kapitalisasi pasar saham itu di bawah US$ 250 juta, ia biasanya masuk kategori micro-cap. Sayangnya, di Indonesia belum ada pengelompokan yang jelas seperti itu. Tapi, yang pasti, makin kecil nilai kapitalisasi pasar suatu saham, semakin tinggi risikonya. Sebab, harga saham-saham berkapitalisasi pasar kecil itu biasanya gampang dipermainkan oleh bandar-bandar. Maklum, mereka tidak membutuhkan banyak dana untuk menggerakkan harga saham tersebut.
Sebagai contoh, mari kita tengok beberapa saham yang memiliki nilai kapitalisasi pasar kecil di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sebut saja saham PT Cipendawa Agroindustri Tbk (CPDW) yang hanya memiliki nilai kapitalisasi pasar Rp 8,7 miliar. Selain itu, ada pula saham PT Toko Gunung Agung Tbk (TKGA) yang nilai kapitalisasi pasarnya cuma Rp 13 miliar. Nah, para bandar hanya membutuhkan dana beberapa miliar saja untuk bisa menggerakkan harga saham-saham seperti itu.
Ironisnya, jika tidak ada bandar yang mendekati, harga saham-saham small cap tersebut biasanya juga akan cenderung tak bergerak atau hanya menjadi saham tidur.
Karena itulah, investor cenderung menghindari saham-saham berkapitalisasi pasar kecil tersebut. Atau, mereka baru masuk jika harga saham-saham itu tiba-tiba bergerak. Itu pun, para investor harus segera merealisasikan keuntungan jika telah memperoleh keuntungan. Sebab, bisa saja harga saham seperti itu tiba-tiba berhenti lagi.?
Gejolak pasar finansial yang terjadi sejak akhir Juli lalu telah membuat bursa-bursa saham di berbagai negara merosot cukup dalam. Di antara bursa-bursa itu, indeks saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ) menjadi salah satu indeks yang turun paling dalam. Salah satu penyebabnya adalah nilai kapitalisasi pasar di BEJ masih kecil. Selain itu, investor asing juga masih dominan di BEJ. Jika kita menjumlahkan kapitalisasi pasar seluruh saham-saham yang ada di Bursa Efek Jakarta (BEJ), kita akan memperoleh angka yang menggambarkan ukuran bursa saham di Indonesia.
Menurut data Bloomberg, hingga kemarin, total nilai kapitalisasi pasar saham-saham di BEJ mencapai US$ 167,4 miliar dolar atau sekitar Rp 1.565,2 triliun. Sekilas, nilai kapitalisasi ini memang terlihat sangat besar. Namun, jika dibandingkan dengan nilai kapitalisasi pasar bursa saham seluruh dunia, kapitalisasi pasar BEJ masih amat kecil. Hingga kemarin, nilai kapitalisasi pasar bursa saham dunia mencapai US$ 56,7 triliun. Jika dibandingkan dengan angka ini, nilai kapitalisasi pasar saham-saham di BEJ tadi hanya sekitar 0,3%.
Bandingkan dengan nilai kapitalisasi pasar bursa saham Amerika yang mencapai US$ 18,1 triliun atau 32% dari nilai kapitalisasi pasar bursa saham dunia. Di Asia, kita juga bisa melihat nilai kapitalisasi pasar bursa saham Jepang yang mencapai US$ 4,6 triliun atau 8% dari nilai kapitalisasi pasar dunia. Contoh lain adalah nilai kapitalisasi pasar bursa saham Malaysia yang telah mencapai US$ 276, 7 miliar atau 0,49% dari kapitalisasi pasar bursa dunia. Karena nilai kapitalisasi pasar BEJ masih kecil dan pemain asing masih mendominasi, bursa saham di Indonesia lebih rentan terpengaruh pergeseran dana-dana di pasar saham dunia. Jika dana-dana investor asing keluar dari BEJ, IHSG di BEJ akan cenderung merosot lebih dalam dibanding indeks bursa negara lain.
No comments:
Post a Comment