Peran dan Fungsi Pemerintah di Bidang Ekonomi

Ekonomi Makro, mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan, rumah tangga. Ekonomi mikro juga mempelajari bagaimana berbagai keputusan dan perilaku tersebut memengaruhi penawaran dan permintaan atas barang dan jasa, yang akan menentukan harga; dan bagaimana harga, pada gilirannya, menentukan penawaran dan permintaan barang dan jasa selanjutnya.

Ruang lingkup kajian ekonomi mikro adalah produsen dan konsumen. Tradisi berlandaskan teori Adam Smith. Ekonomi mikro dengan demikian memiliki ruang lingkup pada produsen dan konsumen. Produsen dan konsumen tersebut dalam dunia ekonomi yang nyata adalah individu-individu pada rumah tangga keluarga, masyarakat, atau perusahaan.

Peran dan Fungsi Pemerintah di Bidang Ekonomi
  1. Fungsi stabilisasi, yaitu fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hokum, pertahanan dan keamanan. 
  1. Fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa public, seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon. 
  1. Fungsi distribusi, yaitu fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat 
Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi

1. Masalah kemiskinan

http://peluangusahamakro.blogspot.com/

Upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUK (Kredit Usaha Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) PKT (Program Kawasan Terpadu), GN-OTA dan program wajib belajar.

2. Masalah Keterbelangkangan
Masalah yang dihadapi adalah rendahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, renddahnya tingkat keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja, lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berupaya meningkatkan kualitas SDM, pertukranan ahli, transper teknologi dari Negara maju.

3. Masalah pengangguran dan kesempatan kerja
Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memeiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja.

Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi

Ilmu ekonomi muncul karena adanya tiga kenyataan berikut :
  1. Kebutuhan manusia relatif tidak terbatas.
  2. Sumber daya tersedia secara terbatas.
  3. Masing-masing sumber daya mempunyai beberapa alternatif penggunaan.
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masing-masing sumber daya mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost).

http://peluangusahamakro.blogspot.com/Secara garis besar ilmu ekonomi dapat dipisahkan menjadi dua yaitu ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro.

1. Ekonomi Makro
Ilmu ekonomi makro mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat (keseluruhan). Variabel-variabel tersebut antara lain : pendapatan nasional, kesempatan kerja dan atau pengangguran, jumlah uang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun neraca pembayaran internasional.
Ilmu ekonomi makro mempelajari masalah-masalah ekonomi utama sebagai berikut :
  1. Sejauh mana berbagai sumber daya telah dimanfaatkan di dalam kegiatan ekonomi. Apabila seluruh sumber daya telah dimanfaatkan keadaan ini disebut full employment. Sebaliknya bila masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan berarti perekonomian dalam keadaan under employment atau terdapat pengangguran/belum berada pada posisi kesempatan kerja penuh.
  2. Sejauh mana perekonomian dalam keadaan stabil khususnya stabilitas di bidang moneter. Apabila nilai uang cenderung menurun dalam jangka panjang berarti terjadi inflasi. Sebaliknya terjadi deflasi.
  3. Sejauh mana perekonomian mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut disertai dengan distribusi pendapatan yang membaik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi pendapatan terdapat trade off maksudnya bila yang satu membaik yang lainnya cenderung memburuk.
2. Ekonomi Mikro
Sementara ilmu ekonomi mikro mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan, rumah tangga.

Dalam ekonomi mikro ini dipelajari tentang bagaimana individu menggunakan sumber daya yang dimilikinya sehingga tercapai tingkat kepuasan yang optimum. Secara teori, tiap individu yang melakukan kombinasi konsumsi atau produksi yang optimum bersama dengan individu-individu lain akan menciptakan keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi ceteris paribus.
Perbedaan ekonomi mikro dan ekonomi makro

Dilihat dari

Ekonomi Mikro

Ekonomi Makro

Harga

Harga ialah nilai dari suatu komoditas (barang tertentu saja)

Harga adalah nilai dari komoditas secara agregat (keseluruhan)

Unit analisis

Pembahasan tentang kegiatan ekonomi secara individual. Contohnya permintaan dan dan penawaran, perilaku konsumen, perilaku produsen, pasar, penerimaan, biaya dan laba atau rugi perusahaan

Pembahasan tentang kegiatan ekonomisecara keseluruhan. Contohnya pendapatan nasional, pertumbu8han ekonomi, inflasi, pengangguran, investasi dan kebijakan ekonomi.
 

Tujuan analisis

Lebih memfokuskan pada analisis tentang cara mengalokasikan sumber daya agar dapat dicapai kombinasi yang tepat.

Lebih memfokuskan pada analisis tentang pengaruh kegiatan ekonomi terhadap perekonomian secara keseluruhan


Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi

1. Masalah kemiskinan

Upaua penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUK (Kredit Usaha Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) PKT (Program Kawasan Terpadu), GN-OTA dan program wajib belajar.

2. Masalah Keterbelangkangan
Masalah yang dihadapi adalah rerndahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, renddahnya tingkat keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja, lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berupaya meningkatkan kualitas SDM, pertukranan ahli, transper teknologi dari Negara maju.

3. Masalah pengangguran dan kesempatan kerja
Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memeiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja

4. Masalah kekurangan modal
Kekurangan modal adalah suatu cirri penting setiap Negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal disebabkan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang menyebabkan tabungan dan tingkat pembentukan modal sedikit. Cara mengatasinya memlaui peningkatan kualitas SDM atau peningkatan investasi menjadi lebih produktif.

Integrasi Kekuatan Struktural dan Kultural

Pada tanggal 28 November sampai 2 Desember 2004, organisasi sosial-keagamaan terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU), menyelenggarakan hajatan besar, yakni Muktamar Ke-31 NU. Muktamar kali ini, sebagaimana diprediksi banyak kalangan, akan berlangsung sangat sengit sebagaimana muktamar di Situbondo 1984.

Muktamar ini diwarnai tarik-menarik kepentingan antara kubu gerakan kultural yang dalam pengertian ini mereka bergerak di wilayah kultural dan menolak adanya gerakan politik praktis dalam tubuh NU dengan 'kubu struktural , yakni para pengurus NU yang aktif sebagai fungsionaris dalam jajaran NU. Kelompok pertama direpresentasikan oleh kiai-kiai KH Abdurrahman Wahid dkk sementara kelompok kedua diwakili oleh KH Hasyim Muzadi, yang secara struktur Ketua Umum Tanfidziyah PBNU 1999-2004.

Kedua kelompok ini tidak hanya berseteru tentang bagaimana konsep dan masa depan NU tetapi juga sama-sama memiliki calon untuk didudukkan di kursi teratas, yakni Tanfidziyah. Sehingga, perseteruan tidak hanya berhenti pada bahstul masail, lebih sengit justru pada perseteruan pemilihan ketua umum tanfidziyah dan rais am. Justru persoalan yang terakhir ini yang lebih dominan dan memiliki ghirah semangat tinggi untuk saling menjatuhkan. Kedua kelompok tersebut sama-sama memikul kepentingan yang berbeda dan seakan sulit dipertemukan dalam satu forum muktamar.

Sesungguhnya, 'perseteruan' di internal NU dan tarik-menarik antara sayap kultural dan sayap aktivis fungsionaris struktural NU tersebut tidak perlu terjadi, jika tiga hal berikut diperhatikan. Pertama, perlu adanya jalinan komunikasi yang intim dan sinergi kekuatan yang padu dalam kedua jalur tersebut secara sekaligus, yaitu jalur struktural dan jalur kultural.
http://globalsearch1.blogspot.com/
Sebab, bagi warga NU, yang paling inti dari dua strategi perjuangan tersebut baik yang kultural maupun yang struktural adalah semakin membaiknya taraf hidup nahdiyin. Oleh karena itu, bahu-membahu di antara keduanya akan cukup menentukan bagi kebaikan masyarakat NU terutama di tingkat grass root. Sebaliknya, sikap saling 'menggergaji' antarmereka justru akan merugikan warga NU sendiri.

Kedua, para warga NU yang menyebut dirinya kekuatan kultural ---dan secara politis mereka adalah elite Partai Kebangkita Bangsa (PKB), mesti memiliki komitmen ke-NU-an yang kuat, perlu diakui bahwa kehadiran mereka di panggung politik kepartaian dapat difungsikan bagi pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan warga NU di level akar rumput. Pada cita inilah, yang datang dari beragam partai politik itu dapat menemukan titik temu. Namun, sayangnya, komitmen ke-NU-an yang seharusnya menjadi panduan mereka itu hancur lebur karena perebutan kekuasaan dan pertengkaran individual di antara mereka sendiri. Kecuali hanya sebagian kecil saja, mereka lebih kentara disibukkan oleh aktivitas pengukiran karier politiknya sendiri, daripada yang lainnya.

Ketiga, partai politik yang dikelola oleh orang-orang NU termasuk disini adalah PKB mestinya lebih sensitif terhadap sejumlah perkara yang menjadi kebutuhan kaum nahdiyin. Misalnya, terhadap pentingnya peningkatan dana anggaran untuk perbaikan pendidikan di Indonesia, di mana kondisi pendidikan warga NU sangat memprihatinkan. Sebab, jika mau jujur, warga NU yang tinggal di dusun-dusun dan pedalaman, bukan hanya di luar Jawa melainkan juga di Pulau Jawa masih banyak yang illiterate, sehingga perlu mendapatkan penanganan serius dengan suntikan dana yang memadai. Dalam tataran itu, yang terjadi malah kebalikannya. Menghadapi melorotnya anggaran pendidikan di APBN, para politikus NU itu justru terlihat--maaf!--gontai dan kedodoran.
Namun, yang perlu ditegaskan bahwa sebuah partai politik yang menjadi medium artikulasi dan penyaluran aspirasi warga NU tetaplah diperlukan, tanpa perlu menyulap NU sebagai partai politik. Harapannya, tentu bersama dengan partai-partai lain, partai tersebut dapat mendorong proses demokratisasi di Indonesia yang kini berlangsung, seraya dapat membagikan dana-dana pembangunan secara merata ke masyarakat bawah yang membutuhkannya. Dan, bagi NU sendiri, yang perlu dikembangkan sejatinya bukanlah 'politik kekuasaan' yang cenderung menguntungkan para elitenya, melainkan yang jauh lebih fundamental adalah 'politik kewargaan' yang coba berjuang bagi terentasnya warga NU dari belitan penderitaan dan kemiskinan yang selama ini menderanya.

Oleh karena itu, “perseteruan” antara dua kubu (kubu cultural vs kebu structural ) sudah sepantasnya harus segera diakhiri, karena hanya akan menjauhkan NU dari cita-citanya selama ini, yaitu terciptanya kesejahteraan masyarakat disegala bidang. Sebalaiknya integrasi antara dua kubu akan mempercepat proses terwujudnya kemakmuran bagi seluruh masyarakat, khusunya warga NU, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri NU 80 tahun yang silam.

Dalam kerangka hal tersebut di atas, penting kiranya mencermati kembali tausiyah PBNU pada saat pemilu kemarin. Kalau dibaca lebih mendalam, tausyiah yang dikeluarkan oleh NU ini tidak hanya sebagai panduan moral bagi warga NU. Lebih jauh, pada prinsipnya tausyiah tersebut ingin kembali mengajak organisasi keagamaan di Indonesia untuk bergandengan bersama dalam merancang bangun demokratisasi di Indonesia. Sudah diketahui bersama bahwa peran organisasi keagamaan saat ini justru beralih fungsi dari media kekuatan kultural menjadi kekuatan politik.

Memang harus diakui bersama bahwa organisasi keagamaan di Indonesia semisal NU, Muhammadiyah, Persis dan lain sebagainya tidak hanya menjadi ruang integrasi sosial-keagamaan tetapi juga sebagai media terciptanya rasa kolektivitas yang membentuk identitas kelompok tertentu. Pada titik ini organisasi keagamaan tidak hanya memiliki ikatan struktural dengan warganya, tetapi merasuk menjadi ikatan emosional yang lebih mendalam.

Kepemilikan identitas ini pada gilirannya kerap menyebabkan tumbuhnya komunalisme dan fanatisme (ta'asshubiyah) yang dapat memecah kepentingan bersama seluruh bangsa. Dan dalam konteks politik, identitas tersebut menjadi semangat tumbuhnya politik aliran seperti yang diteliti oleh Geertz. Seperti yang diamati oleh Geertz pada tahun 70-an bahwa ternyata dalam momen pemilu pertarungan antar politik aliran menjadi begitu kental. Dan dikotomi politik aliran yang paling tegas adalah politik aliran berdasarkan organisasi keagamaan.

Harus diakui bersama bahwa tidak sedikit pula partai politik yang sampai saat ini masih merepresentasikan politik aliran walaupun secara eksplisit tumbuh sebagai partai terbuka. Pada konteks ini NU-Muhammadiyah dalam momen apapun bahkan dalam konteks politik telah memainkan kompetisi yang menyejarah. Kepentingan politik yang diemban oleh dua organisasi keagamaan dalam sejarah politik di Indonesia terus berjalan. Baik NU maupun Muhammadiyah bersikukuh untuk menempatkan kadernya dalam struktur pemerintah. Menjadi agenda besar bagaimana pentas politik di Indonesia melepaskan kepentingan komunalisme yang sudah mengakar ini.

Di sini, tausyiah yang dikeluarkan NU menjadi cukup relevan. Dalam hal ini tausyiah tersebut tidak hanya menjadi panduan bagi masyarakat NU tetapi memiliki agenda besar, yakni sebagai penerapan politik kebangsaan yang bersih dari kepentingan kelompok tertentu. Dengan ini, NU telah memainkan apa yang disebutkan dalam tausyiah tersebut, politik kenegaraan dan politik kebangsaan tanpa mencoba melebur dalam ranah politik kekuasaan. Posisi ini menjadi prestasi gemilang bagi NU yang dalam hal tertentu dibidik sebagai organisasi keagamaan masyarakat desa, tradisional. Namun patut dicatat bahwa dengan tausyiah ini NU seakan melontarkan isu baru tentang reformasi peran dan identitas organisasi keagamaan di Indonesia.

Peran yang dimainkan oleh NU saat ini patut menjadi contoh dan referensi bagi yang lain. Bahwa organisasi keagamaan yang kerap menampilkan sentimen politik aliran telah mampu memainkan peran yang lepas dari perayaan kepentingan politik kekuasaan, seperti yang ditampilkan oleh NU saat ini.

Tausyiah yang dikeluarkan oleh PBNU ini menjadi prasasti demokrasi di tubuh NU, khususnya dan sebagai contoh bagi organisasi keagamaan di Indonesia yang setiap momen pemilu kerap dijadikan tambang legitimasi politik kelompok tertentu.

Posisi ideal seperti inilah yang harus dimainkan oleh organisasi keagamaan dalam rangka ikut andil dalam politik kebangsaan di tanah air. Organisasi keagamaan tidak harus mengarahkan warganya pada arus dukungan kelompok tertentu tetapi harus mampu menjadi media kultural untuk membumikan demokratisasi di Indonesia (Tempo, 29/11/04).

Patut diakui meski ada kubu yang terus menentang dan menginginkan adanya perubahan di tubuh NU, namun KH Hasyim Muzadi tetap terpilih kembali dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo. Memang diakui ada banyak pihak yang ingin perubahan, tapi peserta Muktamar sesuai dengan tata tertib yang telah dirumuskan oleh pengurus cabang dan wilayah tetap memilih pasangan Sahal-Hasyim sebagai nahkoda Jami’iyah NU. Artinya, bahwa terpilihnya kai Hasyim untuk periode kedua kalinya ini bukan hal yang aneh dan sangat masuk akal karena ia menguasai secara struktural. Justru kalau Hasyim tidak terpilih, itu merupakan hal yang luar biasa. Berarti ada reformasi demikian ungkap Greg Barton Suatu ketika. 

Meski demikian peran Gus Dur di arena Muktamar hakekatnya untuk mewarnai NU yang tetap terbuka untuk sebuah proses demokrasi. Sebab, hal itu sebagia bukti bahwa, di NU persoalan wibawa dan kharisma masih sangat kuat dan Gus Dur memiliki faktor itu. Dan dalam kenyataannya kharisma dan wibawa ini telah nampak luntur jika kita berkaca dalam muktamar NU ke-31 ini. Apakah kondisi dan realitas ini akan mengalami penurunan semangat (degradasi) dan soliditas warga nahdliyyin di tingkat akar rumput. Sebab, kita cukup memaklumi bahwa pada dasarnya NU adalah jaringan ulama dan pesantren. Semangat pesantrennya tidak akan hilang, hanya saja mungkin akan banyak kiai atau pesantren yang merasa tidak perlu aktif di organisasi NU. Tapi secara kultural mereka tetap NU (Duta, 3 Desember 2004).

Dinamika perkembangan NU pasca Muktamar ke-31, secara prinsip semua kaum Muslim yang masih punya hati nurani termasuk segenap warga NU sangat berharap agar ancaman Gus Dur untuk mufaroqoh tersebut jangan menjadi kenyataan. Semua kaum Muslim, sangat menginginkan agar NU tetap utuh dan tidak berpecah belah karena hanya akan memperlemah kekuatan NU itu sendiri. Untuk itu, setelah menduduki posisi sebagai Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi harus secepatnya mengambil inisiatif untuk mengakomodir semua aspirasi warga NU dan para kyai sepuh NU termasuk Gus Dur. 

Pada saat yang sama, Hasyim Muzadi juga harus secepatnya mengubah gaya kepemimpinannya yang selama ini menekankan pendekatan politik ketimbang dengan pendekatan kultural yang bisa terterima oleh semua pihak. Pendeknya, kiai Hasyim jangan coba-coba lagi bermain api dengan menceburkan diri kedalam kancah politik praktis yang telah menyebabkan dirinya mengalami penolakan seperti sekarang dari kubu Gus Dur dan sejumlah sesepuh NU lainnya.

Tentang jalannya Muktamar NU ke-31 di Solo yang telah memilih kembali Hasyim Muzadi untuk masa jabatan kedua, Heidar Nasir (seorang tokoh Muhammadiyah) menyatakan, merasa bangga dengan tanda-tanda telah terjadinya peningkatan kesadaran gerakan civil society di kalangan warga NU. Karena itu pada kesempatan itu ia ingin mengucapkan selamat untuk Pak Hasyim Muzadi dan percaya kiai Hasyim akan mampu memimpin NU dengan catatan harus segera menggaungkan kesadaran civil society tersebut dan secara total meninggalkan panggung politik, hanya dengan cara itu dia akan bisa menyatukan semua pihak di tubuh NU, dan menyetukan basis potensial NU yakni kokohnya integrasi kelompok cultural dan Struktural dalam tenda besar NU yang senantiasa menyebarkan misi rahmatan lil-alamin dan mengayomi warganya dengan penuh pengabdian dan keikhlasan (Antara, 03 Desember 2004).

Sejarah Koperasi di Indonesia

Pengertian Koperasi
Koperasi adalah organisasi bisnis yang dimiliki dab dioperasikan oleh orang-seorang demi kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.

Prinsip Koperasi
  1. Prinsip koperasi menurut UU No. 25 tahun 1992 adalah:
  2. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
  3. Pengelolaan dilakukan secara demokratis
  4. Pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha) dilakukan secara adil sesuai dengan jasa usaha masing-masing anggota
  5. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
  6. Kemandirian
  7. Pendidikan perkoperasian
  8. Kerjasama antar koperasi
Sejarah Koperasi Di Indonesia
Sejarah singkat gerakan koperasi bermula pada abad ke-20 yang pada umumnya merupakan hasil dari usaha yang tidak spontan dan tidak dilakukan oleh orang-orang yang sangat ka
http://peluangusahamakro.blogspot.com/
ya. Koperasi tumbuh dari kalangan rakyat, ketika penderitaan dalam lapangan ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme semakin memuncak.Beberapa orang yang penghidupannya sederhana dengan kemampuan ekonomi terbatas, terdorong oleh penderitaan dan beban ekonomi yang sama, secara spontan mempersatukan diri untuk menolong dirinya sendiri dan manusia sesamanya.

Pada tahun 1896 seorang Pamong Praja Patih R. Aria Wiria Atmaja di Purwokerto mendirikan sebuah Bank untuk para pegawai negeri (priayi). Ia terdorong oleh keinginannya untuk menolong para pegawai yang makin menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Maksud Patih tersebut untuk mendirikan koperasi kredit model seperti di Jerman. Cita-cita semangat tersebut selanjutnya diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode, seorang asisten residen Belanda. De Wolffvan Westerrode sewaktu cuti berhasil mengunjungi Jerman dan menganjurkan akan mengubah Bank Pertolongan Tabungan yang sudah ada menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian. Selain pegawai negeri juga para petani perlu dibantu karena mereka makin menderita karena tekanan para pengijon. Ia juga menganjurkan mengubah Bank tersebut menjadi koperasi. Di samping itu ia pun mendirikan lumbung-lumbung desa yang menganjurkan para petani menyimpan pada musim panen dan memberikan pertolongan pinjaman padi pada musim paceklik. Ia pun berusaha menjadikan lumbung-lumbung itu menjadi Koperasi Kredit Padi. Tetapi Pemerintah Belanda pada waktu itu berpendirian lain. Bank Pertolongan, Tabungan Dan Pertanian dan Lumbung Desa tidak dijadikan koperasi tetapi Pemerintah Belanda membentuk lumbung-lumbung desa baru, bank-bank desa, rumah gadai dan Centrale Kas yang kemudian menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Semua itu adalah badan usaha Pemerintah dan dipimpin oleh orang-orang Pemerintah.

Pada zaman Belanda pembentuk koperasi belum dapat terlaksana karena :
  1. Belum ada instansi pemerintah ataupun badan non pemerintah yang memberikan penerangan dan penyuluhan tentang koperasi.
  2. Belum ada undang undang yang mengatur kehidupan koperasi.
  3. Pemerintah jajahan sendiri masih ragu-ragu menganjurkan koperasi karena pertimbangan politik, khawatir koperasi itu akan digunakan oleh kaum politik untuk tujuan yang membahayakan pemerintah jajahan itu.
Mengantisipasi perkembangan koperasi yang sudah mulai memasyarakat, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan perundangan tentang perkoperasian. Pertama, diterbitkan Peraturan Perkumpulan Koperasi No. 43, Tahun 1915, lalu pada tahun 1927 dikeluarkan pula Peraturan No. 91, Tahun 1927, yang mengatur Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi bagi golongan Bumiputra. Pada tahun 1933, Pemerintah Hindia-Belanda menetapkan Peraturan Umum Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi No. 21, Tahun 1933. Peraturan tahun 1933 itu, hanya diberlakukan bagi golongan yang tunduk kepada tatanan hukum Barat, sedangkan peraturan tahun 1927, berlaku bagi golongan Bumiputra. Diskriminasi pun diberlakukan pada tataran kehidupan berkoperasi.

Pada Tahun 1908, Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo memberikan peranan bagi gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Pada tahun 1915 dibuat peraturan Verordening op de Cooperatieve Vereeniging, dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe Cooperatieve. Pada tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusaha-pengusaha pribumi. Kemudian pada tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi.

Namun pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya. Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat Jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Taikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai hari Koperasi Indonesia. Sekaligus membentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang berkedudukan di Tasikmalaya (Bandung sebagai ibukota Provinsi sedang diduduki oleh tentara Belanda). Lalu kita mengenal Moh. Hatta sebagai bapak koperasi. Beliau mengusulkan didirikannya 3 macam koperasi:

Pertama, adalah koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai.
Kedua, adalah koperasi produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak atau nelayan).
Ketiga, adalah koperasi kredit yang melayani pedagang kecil guna memenuhi kebutuhan modal.

Bung Hatta mengatakan bahwa tujuan koperasi yang sebenarnya bukan mencari laba atau keuntungan, namun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bersama anggota koperasi.