Fenomenologi dan Psikologi

Menurut Willig (1999: 52) meskipun fenomenologi transcendental dipahami sebagai sistem pemikiran filsafat, rekomendasinya telah terbukti menarik minat peneliti ilmu pengetahuan sosial umumnya dan psikologi khususnya. Hal ini disebabkan fenomenologi memfokuskan diri pada isi kesadaran dan pengalaman individu tentang dunia, seperti yang dinyatakan oleh Kvale (1996 b: 53) sebagai berikut: 

Fenomenologi berminat menguraikan apa yang nampak maupun cara bagaiman sesuatu menampakkan diri. Fenomenologi mempelajari perspektif subjek tentang dunianya; berusaha menjelaskan secara detail isi dan kesadaran subjek, berusaha menujukkan keragaman kualitatif dari pengalaman-pengalaman mereka dan mengungkapkan makna-makna yang esensiil pengalaman-pengalaman tersebut. 

(“Even though transcendental phenomenology was conceived as a philosophical system of thought, its methodological recommendations have proved to be of interest to researchers in the social sciences in general and psychology in particular. This is because phenomenology focuses upon the content of consciousness and individual’s experience of the word as Kvale (1996 b:53) put in: 

Phenomenology is interested in elucidating both that which appears and the manner in which it appears. It studies the subjects perspectives of their word; attempts to describe in detail the content and structure of the subjects consciouness, to grasp the qualitative diversity of their experiences and to explicate their essential meanings. 

Selanjutnya dijelaskan: Penelitian empiris fenomenologi dalam psikologi telah dirintis dan diaplikasikan secara ekstentif pada Universitas Duquesne di Amerika Serikat (lihat Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1990; Georgi et al 1975). Topik-topik penelitian fenomenologi meliputi: “pemahaman perasaan” (Van Kaam 1959), “belajar” (Georgi 1975,1985), “ jadi kurban” (Fisher dan Wertz, 1979), “amarah” (Stevick 1971), dan banyak fenomena yang lain dari pengalaman manusia. Kenyataanya pengalaman manusia dapat dianalisis secara fenomenologis. Inilah alasan lain mengapa fenomenologi merupakan pendekatan yang menarik bagi peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam fokus dan penekanan antara fenomenologi transcendental dan penggunaan metoda fenomenologi dalam psikologi. 

(“Emperical phenomenonlogical research in psychology was pioneered and applied extensively at Duquesne University in the USA (see Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1994; Georgi et al. 1975). Topics of phenomenological investigation include “feeling understood” (Van Kaam 1959), “learning” (Georgi 1975, 1985), “being victimized” (Fisher and Wentz 1979), “angry” (Stevick 1971), and many other phenomena of human experience. In fact, any human experience can be subjected to phenomenological analysis. This is another reason why this approach appeals to psychological researchers. However, there are differences in focus and emphasis between transcendental phenomenology and the use of the phenomenological method in psychology (Willg, 1999:52-53). 

Spinelli (1989) menunjukan bahwa psikologi fenomenologi lebih memperhatikan keberagaman dan variasi pengalaman manusia dibandingkan dengan identifikasi tentang esensi-esensi dalam pandangan Husserl. Sebagai tambahan penelitian-penelitian fenomenologi dalam psikologi mengklaim bahwa seluruh prasangka dan bias-bias dalam suatu perenungan tentang suatu fenomena. 

Lebih dari itu usaha memberi tanda kurung fenomena membolehkan peneliti menggunakan pengujian secara kritis atau cara yang biasa digunakan untuk mengetahuinya. Akhirnya sangat penting untuk membedakan antara perenungan fenomenologi tentang suatu objek atau kejadian sebagaimana menampakan dirinya kepada peneliti, dengan analisis fenomenologi atas catatan pengalaman khusus seperti yang ditampilkan oleh penelitian terlibat. Analisis fenomenologis menuntut (mensyaratkan) perhatian intropektif oleh seseorang terhadap pengalamannya sendiri, sementara analisis terhadap laporan pengalaman terlibat berupaya “masuk dalam” pengalaman orang lain atas dasar deskripsi mereka tentang pengalamannya. Dalam penelitian psikologi fenomenologi menggunakan laporan penelitian terlibat dijadikan fenomena oleh peneliti. (

“Spinelli (1989) pointed out that phenomenological psychology is more concerned with the diversity and variability of human experience than with the identification of essences in Husserl’s sense. In addition, few, if any, phenomenological researchers in psychology would claim that it is possible to suspend all presuppotions and biases in one’s contemplation of a phenomenon. Rather the attempt to bracket the phenomenon allows the researchers to engage in a critical examination of his or her customary ways of knowing (about) it (see reflexity. p. 10). Finally, it is important to differentiate between phenomenological contemplation of an object or event as it present it self to the researcher, and phenomenological analysis of an account of a particular experience as presented by a research participant. The former requires introspective attention to one’s own experience, where as the latter an attempt to “get inside” someone else’s experience on the basis of their description of it. In phenomenological psychological research, the research participotion’s account becomes the phenomenon with which the researcher engages”) (Willig, 1999: 53). 

No comments:

Post a Comment