Sejarah Corporate Governance

Di negara-negara maju, corporate governance baru ditelaah secara mendalam sejak tahun 1980. Menghangatnya corporate governance sejak tahun tersebut sejalan dengan kebutuhan sistem perekonomian untuk menanggapi banyaknya kebangkrutan pada bebeberapa perusahaan papan atas (Syakhroza, 2003). Black pada tahun 2001 menyatakan bahwa pelaksanaan corporate governance di negara-negara maju sudah merata karena adanya aturan hukum dan norma-norma yang kuat. Meratanya pelaksanaan corporate governance menyebabkan pelaksanaan corporate governance bukan merupakan faktor yang berdampak secara signifikan untuk meningkatkan nilai saham dari perusahaan (Black, Jang, dan Kim, 2003). 

Di Asia, termasuk Indonesia, corporate governance mulai banyak diperbincangkan pada pertengahan tahun 1997, yaitu saat krisis ekonomi melanda negara-negara tersebut (Indaryanto, 2004). Black pada tahun 2001 menyatakan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang (seperti di Asia) pelaksanaan corporate governance mempunyai variasi yang besar yang berbeda dengan pelaksanaan corporate governance di negara-negara maju. Besarnya variasi dalam pelaksanaan corporate governance menyebabkan corporate governance merupakan faktor yang berdampak signifikan untuk meningkatkan nilai saham dari perusahaan (Black, Jang, dan Kim, 2003). 

Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent (LOI) dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencatuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan corporate governance (KNKCG) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. 

Jika dilihat dari sejarahnya, keberadaan corporate governance didasari oleh dua konsep penting. Konsep pertama, legitimasi penggunaan kekuasaan dengan dikotomi antara pemilik dan pengelola perusahaan (agency problems). Konsep kedua, pada kenyataannya tidak mungkin untuk membuat sebuah kontrak yang lengkap (incomplete contracts) antara pemilik dan pengelola perusahaan (Learmount, 2002). Secara singkat, masing-masing konsep dapat dijelaskan sebagai berikut. 
Permasalahan Keagenan (Agency Problem) 

Menurut Monks dan Minow (1995) dalam Susanti (2008), perusahaan merupakan mekanisme yang memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk berkontribusi dalam modal, keahlian, serta tenaga kerja dalam rangka memaksimumkan keuntungan dalam jangka panjang. Pihak-pihak yang berkontribusi dalam modal disebut sebagai pemilik (prinsipal), sedangkan pihak-pihak yang berkontribusi dalam keahlian dan tenaga kerja disebut agen (pengelola perusahaan). Adanya dua pihak tersebut (pemilik dan agen), telah menyebabkan timbulnya permasalahan tentang mekanisme seperti apa yang harus dibentuk untuk menyelaraskan kepentingan yang berbeda diantara keduanya. Setelah melakukan penempatan atas modal yang mereka miliki, pemilik akan meninggalkan perusahaan tanpa adanya suatu jaminan bahwa modal yang telah mereka tempatkan tidak akan disalurkan untuk investasi atau proyek yang tidak menguntungkan. Kesulitan yang dirasakan oleh pemilik ini merupakan inti dari permasalahan keagenan. 
Kontrak yang Tidak Lengkap (Incomplete Contract) 

Setelah tahun 1970 muncul teori-teori ekonomi baru tentang perusahaan. Teori-teori ini dimunculkan oleh Alchian dan Demset’z pada tahun 1972 serta Jensen dan Meckling pada tahun 1976. Alchian dan Demset’z serta Jensen dan Meckling memperkenalkan ide bahwa perusahaan merupakan nexus of contract (Learmount, 2002). Perusahaan merupakan nexus of contract mengandung arti bahwa di dalam perusahaan terdapat sebuah kontrak timbal balik (quid pro quo contract) yang memfasilitasi hubungan antara pemilik perusahaan, karyawan, pemasok, dan berbagai partisipan lainnya yang terkait dengan perusahaan 

Terkait dengan perusahaan sebagai nexus of contract, Maher dan Andersson pada tahun 2000 menyatakan bahwa tidak mungkin untuk membuat sebuah kontrak yang lengkap antara pemilik modal dan agen yang akan menspesifikasikan bagaimana keuntungan dibagi antara pemilik modal dan agen; dan juga akan menggambarkan tindakan yang memadai bagi agen dalam semua situasi yang memungkinkan. Penyebab dari tidak adanya kontrak yang lengkap adalah sulitnya untuk memprediksikan setiap kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang atau karena kendala biaya yang mahal untuk mengantisipasi setiap kemungkinan tersebut (Aries, 2008). 

Tidak adanya kontrak yang lengkap telah menyebabkan munculnya sejumlah kondisi yang memerlukan tindakan dalam pengelolaan perusahaan yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam kontrak, contohnya hak untuk membuat keputusan pada saat pengelolaan suatu investasi menghadapi kondisi yang berbeda dengan apa yang direncanakan. Dalam kenyataannya, walaupun pemilik modal juga menerima hak-hak kontrol residual untuk dapat memutuskan sesuatu yang tidak terduga, pengalokasian hak-hak kontrol residual bagi pemilik modal seringkali tidak efektif karena sebagian besar pemilik modal seringkali tidak memiliki kemampuan atau tidak memiliki cukup informasi untuk mengetahui apa yang harus dilakukan. Bahkan, untuk kedua hal tersebutlah mereka memperkerjakan agen. Akibatnya, agen akan mendapatkan sebagian besar hak-hak kontrol residual tersebut dan kemudian memiliki kemampuan untuk mengalokasikan dana-dana perusahaan sesuai dengan pilihan mereka. Dalam hal ini, corporate governance merupakan suatu cara atau mekanisme untuk menjamin supaya pemilik modal mendapatkan imbal hasil (deviden) yang sesuai dengan kepentingan maupun investasi yang ditanamkan oleh mereka. 

Masalah keagenan dan kontrak yang tidak lengkap, merupakan shareholder model of governance (Maher dan Andersson, 2000). Tujuan utama dari shareholder model of governance adalah memaksimukan kesejahteraan pemegang saham. Apabila shareholder model of governance hanya memandang perusahaan secara dangkal, yaitu dari sisi hubungan antara pemilik dan agen yang mengelola perusahaan, stakeholder model of governance memandang perusahaan secara lebih luas. Perusahaan harus bertanggung jawab pada sejumlah besar pemangku kepentingan (stakeholders), di luar pemegang saham. Pemangku kepentingan ini meliputi para kreditor dan konstituensi-konstituensi sosial seperti anggota masyarakat tempat perusahaan berlokasi, lingkungan, serta pemerintah daerah dan pusat. 

Dalam kerangka analisisnya, stakeholder model of governance menekankan pada keberadaan perusahaan sebagai institusi yang harus bertanggung jawab secara sosial dan sebagai institusi yang harus dikelola untuk kepentingan publik (Maher dan Andersson, 2000). Salah satu bentuk dari stakeholder model of governance adalah corporate social responsibility. Corporate social responsibility merupakan kepedulian perusahaan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui praktik-praktik bisnis yang sesuai dengan aturan, moral, dan etika, serta melalui kontribusi dari sumber-sumber yang dimiliki oleh perusahaan (Kottler, 2005).

Lihat Juga Artikel dengan cara meng KLIK di bawah ini :
http://globalsearch1.blogspot.com/
http://ayuarifahharianja.blogspot.com/
http://dinulislami.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment