Memahami Merger dan Akuisisi

Sejak awal tahun ini, berita tentang merger dan akuisisi perusahaan semakin sering muncul di berbagai media massa. Transaksi yang populer dengan singkatan M&A itu tidak hanya terjadi di kancah bisnis internasional, tapi juga banyak terjadi di Indonesia. Contoh yang sedang hangat adalah langkah agresif PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) mengakuisisi PT PP London Sumatera Tbk (LSIP). 

Nah, apa sebenarnya definisi merger dan akuisisi itu? Apa pula dampak M&A bagi pemegang saham atau investor? Satu ditambah satu sama dengan tiga. Itulah rumus dasar yang mendasari aksi merger dan akuisisi atau M&A. 

Perusahaan melakukan kedua transaksi itu untuk meningkatkan nilai tambah bagi pemegang saham. Targetnya, nilai tambah perusahaan hasil M&A itu harus lebih tinggi dibandingkan total nilai tambah dari dua perusahaan yang terpisah. 

Alasan itu makin kuat ketika kondisi perekonomian sedang sulit. Perusahaan yang kuat cenderung membeli perusahaan lain untuk meningkatkan daya saing dan menghemat biaya. Kedua perusahaan itu berharap bisa memperoleh pangsa pasar yang lebih besar dan efisiensi biaya. Demi alasan ini, perusahaan yang merasa tidak bisa bertahan sendirian biasanya merelakan diri untuk menjadi target akuisisi. 

Lantas, apa perbedaan merger dan akuisisi? Walau sering dipakai bersamaan, arti keduanya sedikit berbeda. Ketika sebuah perusahaan membeli perusahaan lain dan secara terang-terangan menyatakan dirinya menjadi pemilik baru, pembelian itu disebut akuisisi. Dari sudut pandang legal, perusahaan sasaran akuisisi bisanya melebur ke pihak yang mengakuisisi. Dengan kata lain, perusahaan pembeli "menelan" perusahaan sasarannya. 

Adapun merger terjadi ketika dua perusahaan sepakat untuk bergabung dan membentuk perusahaan baru. Konsekuensinya, kedua perusahaan menyerahkan saham mereka dan perusahaan baru itu akan menerbitkan saham sebagai gantinya. 

Contohnya, Daimler-Benz dan Chrysler sepakat untuk melebur ke dalam perusahaan baru ketika melaksanakan merger. Dengan kata lain, entitas kedua perusahaan itu ditutup, dan DaimlerChrysler, perusahaan yang mereka bentuk, tampil sebagai pengganti.? 

Sinergi adalah kata sakti yang menjadi asalan perusahaan-perusahaan untuk melakukan merger. Dengan melakukan sinergi, mereka berharap bisa memperoleh banyak manfaat. Ini bisa mencakup banyak hal, mulai dari penghematan biaya, perluasan pasar, penguasaan teknologi, akses dana yang lebih besar, dan masih banyak lagi. Namun, tak selamanya proses merger itu sukses menciptakan sinergi. 

Akibatnya, bukannya tumbuh, perusahaan itu justru malah mandek.
DENGAN melakukan sinergi, perusahaan yang melakukan merger berharap bisa meningkatkan pendapatannya dan menghemat berbagai biaya secara bersamaan. Secara lebih rinci, keuntungan merger itu bisa berasal dari beberapa hal. 

Yang pertama adalah pengurangan tenaga kerja. Bukan hal yang aneh jika merger diikuti oleh pengurangan karyawan. Misalnya, jika perusahaan melakukan merger, akan ada pengurangan karyawan di bagian keuangan, pemasaran, dan bagian-bagian lainnya. Belum lagi, pengurangan tenaga kerja itu kadang-kadang merembet sampai bos-bos yang bergaji besar. 

Kedua, dari pencapaian tingkat skala ekonomi (economies of scale). Contohnya, semakin besar suatu perusahaan, ia akan memiliki daya beli yang makin besar pula. Akibatnya, ketika membeli bahan baku atau perlengkapan, misalnya, jumlah pembeliannya jauh lebih besar. Ujungnya, ia memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh harga pembelian yang murah dari pemasok. 

Ketiga, dari penguasaan teknologi baru. Merger juga mencakup sinergi penguasaan teknologi dari perusahaan-perusahaan yang melakukan merger. Karenanya, proses ini juga mempercepat penguasaan teknologi perusahaan. Terutama, jika teknologi salah satu perusahaan yang melakukan merger jauh lebih canggih dibandingkan dengan perusahaan yang lainnya. 

Keempat, sinergi juga bisa meningkatkan jangkauan pasar perusahaan. Dengan bergabung dengan perusahaan lain, suatu perusahaan bisa memperoleh pasar baru secara lebih cepat dibandingkan jika mengembangkan sendiri. Ujungnya, pendapatan dan laba perusahaan juga akan meningkat. Harap dicatat pula, merger juga meningkatkan jangkauan pemasaran dan distribusi perusahaan. 

Kelima, dari peluang memperoleh pembiayaan yang lebih besar. Perusahaan yang besar biasanya lebih mudah memperoleh pinjaman jika dibandingkan perusahaan yang lebih kecil. Selain itu, nilai pinjamannya juga menjadi jauh lebih besar. Dengan dana yang lebih besar ini, ia juga memiliki "bahan bakar" yang lebih banyak untuk ekspansi. Alhasil, perusahaan juga bisa tumbuh lebih cepat. 

Tapi, sejatinya, sinergi tak mudah dilakukan. Sinergi ini juga tak langsung tercapai ketiga dua perusahaan melakukan merger. Bahkan, kadang-kadang merger juga justru membawa dampak buruk. Jadi, satu ditambah satu ternyata malah kurang dari dua.? 

Variasi merger yang terjadi di pasar keuangan dunia bisa sangat banyak. Maklum, setiap perusahaan biasanya memilik posisi yang unik di dalam industri. Alhasil, ada merger yang melibatkan perusahaan-perusahaan yang dahulu bersaing, ada merger pemasok dan konsumen, merger antara perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis sangat berbeda, dan masih banyak lagi. 

BERDASARKAN struktur bisnisnya, jenis merger bisa sangat banyak. Sebut saja, merger horizontal, merger vertikal, konglomerasi, dan masih banyak lagi.
Merger horizontal adalah merger yang melibatkan dua perusahaan yang sebelumnya saling berkompetisi langsung. Tak hanya menjual jenis produk yang sama, mereka juga beroperasi di pasar yang sama. 

Adapun merger vertikal dilakukan oleh dua perusahaan yang sebelumnya telah memiliki hubungan produsen dan konsumen. Misalnya, sebelumnya yang satu menjadi pemasok bagi perusahaan lainnya. Merger antara produsen ban dan produsen motor adalah contohnya. 

Ada pula merger perluasan pasar (market-extension merger). Ini terjadi ketika merger itu melibatkan dua perusahaan yang selama ini memproduksi produk yang sama tapi beroperasi di pasar yang berbeda. Selanjutnya, ada merger untuk perluasan produk (produk-extension merger). 

Ini melibatkan dua perusahaan dengan produk berbeda yang berhubungan. Tapi, mereka menggarap pasar yang sama. Satu lagi yang tak boleh ketinggalan adalah konglomerasi. Ini adalah merger yang melibatkan dua ada beberapa perusahaan yang beroperasi di bidang yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. 

Sementara, berdasarkan pembiayaan merger itu, ada dua tipe merger. Keduanya mendatangkan implikasi yang berbeda untuk perusahaan yang terlibat dalam merger maupun investor. 

Yang pertama adalah merger dengan pembelian (purchase merger). Sesuai namanya, dalam merger ini, salah satu perusahaan membeli perusahaan lainnya. Pembelian itu bisa dibiayai dengan tunai maupun penerbitan surat utang. ? 
Perbedaan antara merger dan akuisisi sejatinya sangat tipis. Bahkan, di zaman sekarang ini, bisa jadi keduanya hanya berbeda nama saja. Merger dan akuisisi ingin mencapai tujuan yang sama, yakni sinergi. Melalui sinergi, perusahaan-perusahaan berharap bisa meningkatkan nilai, mengembangkan pasar, menghemat biaya, dan seterusnya. Ujung-ujungnya mereka berharap bisa meningkatkan laba. 

SEPERTI sudah disinggung dalam tulisan sebelumnya, variasi pola merger bisa sangat banyak. Misalnya, berdasarkan, pembiayaannya ada merger dengan pembelian (purchase merger). 

Sesuai dengan namanya, dalam merger ini, salah satu perusahaan membeli perusahaan lainnya. Perusahaan sering memiliki pola merger ini karena mereka bisa memperoleh manfaat pajak. Pihak yang menjadi pembeli dalam proses merger itu bisa membukukan harga pembelian pada harga pasar. Nah, selisih antara harga pasar ini dengan nilai bukunya bisa disusutkan (depresiasi) setiap tahun. 

Ujungnya, akumulasi biaya penyusutan seperti ini tentu akan mengurangi beban pajak.
Selain itu, ada pula yang disebut sebagai merger konsolidasi. Ini terjadi ketika dua perusahaan dibeli dan digabungkan ke dalam satu perusahaan yang baru. 

Setelah mencermati semua penjelasan itu, kita dapat melihat bahwa perbedaan merger dan akuisisi sangat tipis. Bahkan, di zaman sekarang, merger dan akuisisi hanya berbeda namanya saja. Seperti halnya merger, akuisisi perusahaan juga bertujuan mencari tingkat skala ekonomi, efisiensi, dan memperluas pasar. Tapi, tidak seperti merger, dalam akuisisi selalu ada satu perusahaan yang membeli perusahaan lainnya. Proses akuisisi sendiri bisa berlangsung secara damai, tapi juga terjadi secara paksa (hostile). 

Di dalam akuisisi, perusahaan juga bisa membeli perusahaan lainnya dengan uang tunai, saham, atau kombinasi keduanya. Kemungkinan lainnya, salah satu perusahaan membeli seluruh aset perusahaan lain. Akibatnya, perusahaan sasaran pembelian itu akan menjadi kosong tanpa aset dan kemudian tutup atau berganti bisnis. 

Pola lain akuisisi adalah reverse merger. Ini terjadi ketika satu perusahaan tertutup ingin mencatatkan sahamnya di bursa saham secara cepat dengan membeli perusahaan lain yang telah tercatat di bursa. Transaksi ini sering juga disebut sebagai back door listing. 

Setelah transaksi ini, perusahaan tertutup itu menjadi perusahaan publik, dan sahamnya diperdagangkan di bursa. Kesimpulannya, pola merger atau akuisisi bisa berbeda-beda. Tapi, umumnya mereka memiliki tujuan yang serupa. 

Mereka ingin menciptakan sinergi. Mereka ingin mewujudkan keyakinan mereka bahwa penggabungan dua perusahaan jauh lebih bernilai dibandingkan jika merek beroperasi sendiri-sendiri. Satu ditambah satu sama dengan tiga.? 

Sebagai pemegang saham perusahaan, investor saham harus lebih peduli terhadap aksi merger atau akuisisi yang dilakukan emiten saham. Maklum, langkah merger atau akuisisi bisa sangat mempengaruhi keuntungan investor di masa mendatang. Misalnya, jika biaya akuisisi itu terlalu mahal, peluang keuntungan dividen investor akan berkurang. Setali tiga uang, harga saham perusahaan itu juga bisa melemah. 

BAIK merger maupun akuisisi sendiri sering melibatkan pembelian satu perusahaan atas perusahaan lain. Dalam kasus ini, tentu saja investor yang menjadi pemegang saham harus mengukur apakah pembelian itu akan menguntungkan bagi dirinya. Untuk itu, investor juga harus mengukur apakah harga pembelian itu cukup wajar jika dibandingkan dengan prospek perusahaan yang dibeli. 

Masalahnya, pihak penjual dan pembeli dalam merger dan akuisisi bisanya memiliki pendapat yang berbeda tentang nilai perusahaan. Penjual tentu akan cenderung memasang harga yang setinggi mungkin, sementara pembeli berusaha memperoleh harga semurah mungkin. 

Ada banyak cara untuk mengukur apakah suatu pembelian perusahaan layak atau tidak. Salah satunya adalah dengan membandingkan dengan harga perusahaan sejenis di dalam industri. Untuk itu, perusahaan yang akan menjadi pembeli biasanya menerapkan beberapa metode untuk mengukur nilai perusahaan yang menjadi targetnya. 

Salah satunya, mereka biasa menggunakan perbandingan rasio. Salah satu rasio yang dipakai adalah rasio harga saham terhadap laba per saham atau price-earning ratio (P/E). Dengan rasio ini, biasanya, perusahaan menawarkan harga pembelian yang bisa mencapai beberapa kali lipat laba per sahamnya. Untuk memperoleh harga yang wajar, calon pembeli itu bisa membandingkan dengan P/E perusahaan lain yang sejenis. Investor juga bisa menggunakan rasio P/E itu untuk mengukur apakah akuisisi yang dilakukan oleh suatu perusahaan terlalu mahal, wajar, atau terlalu murah. Jika terlalu mahal, akuisisi itu kemungkinan besar merugikan investor.? 

Seorang pemilik perusahaan tidak akan menjual perusahaannya jika ia tidak memperoleh keuntungan lebih dibandingkan jika ia tidak menjual perusahaannya. Karenanya, meski menggunakan berbagai rumus untuk menilai harga wajar perusahaan, perusahaan yang akan melakukan akuisisi cenderung membeli perusahaan lain dengan harga premium. Salah satu alasannya: pembelian itu akan menciptakan sinergi. 

SEPERTI sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya, perusahaan yang akan membeli perusahaan lain sering menggunakan rasio harga terhadap keuntungan per saham atau price-earning ratio (P/E) sebagai patokan. Selain itu masih ada metode penentuan harga lain. 

Ambil contoh, ada perusahaan yang menggunakan patokan biaya penggantian atau replacement cost. Dalam banyak kasus, perusahaan menghargai perusahaan sasaran akuisisinya dengan menghitung biaya seandainya ia membentuk perusahaan sejenis dengan ukuran yang sama dengan perusahaan itu. 

Misalnya, secara sederhana, nilai perusahaan adalah total nilai aset dan biaya karyawan. Nah, perusahaan yang akan melakukan akuisisi tinggal menawarkan harga pembelian yang setara dengan total nilai aset-aset itu. Sebab, jika perusahaan tidak mau menerima tawaran itu, ia dengan gampang bisa membuat perusahaan sendiri dengan modal harga yang ditawarkannya. 

Selain itu, yang lebih canggih, ada pula perusahaan yang menentukan harga perusahaan target menggunakan rumus discounted cash flow (DCF). Rumus ini terhitung rumit untuk orang awam. Tapi secara sederhana, DCF menentukan nilai perusahaan pada saat ini berdasarkan perkiraan penerimaan arus kas perusahaan itu di masa yang akan datang. 

Nah, berdasarkan patokan-patokan itu, biasanya perusahaan akan menawarkan harga yang lebih tinggi dari harga saham di pasar (premium). Alasannya adalah pembelian tersebut akan memberikan sinergi bagi perusahaan. Merger kedua perusahaan itu akan menguntungkan bagi pemegang saham karena harga saham perusahaan setelah merger berpotensi meningkat.? Seperti sifat manusia, perusahaan sering memiliki kebiasaan buruk menelan perusahaan lain yang sebenarnya berada di luar kemampuannya. Akibatnya, belakangan hari, perusahaan itu akan kesulitan menciptakan sinergi. Belum lagi, terkadang perusahaan juga membayarkan harga yang terlalu mahal. Akibatnya, alih-alih memetik efisiensi, akuisisi semacam itu hanya akan sia-sia. Investor harus mencermati hal ini. 

SEBENARNYA, bukan hal yang aneh jika suatu perusahaan mengakuisisi perusahaan lain dengan harga di atas harga pasar (premium). Maklum, perusahaan itu biasanya melihat potensi perusahaan targetnya di masa mendatang. Selain itu, ia juga memasukkan faktor manfaat sinergi di antara dua perusahaan itu ke dalam harga pembeliannya. Namun, tetap saja, investor tak boleh tutup mata dengan harga akuisisi yang disepakati oleh kedua perusahaan. Memang tidak gampang bagi investor untuk mengukur apakah suatu harga akuisisi cukup wajar. Pada akhirnya, manajemen perusahaan-lah yang harus membuktikan bahwa harga yang mereka bayarkan cukup layak. Tapi, investor bisa mempergunakan beberapa kriteria dan hal-hal sederhana untuk mengukur apakah suatu akuisisi plus merger akan berhasil. 

Pertama, harga akuisisi atau pembelian itu harus masuk akal. Umumnya, para analis menilai harga premium hingga sekitar 10% masih wajar. Tapi, kalau ada harga akuisisi yang mencapai 50% di atas harga pasar, jelas tidak wajar. Lebih baik, investor mengindari saham perusahaan yang melakukan akuisisi terlalu berani seperti itu. 

Kedua, perusahaan yang membayar akuisisi menggunakan dana kas biasanya akan lebih berhati-hati dalam menghitung harga akuisisi. Sebaliknya, perusahaan yang membayar dengan saham cenderung kurang berhati-hati. 

Ketiga, sebuah perusahaan semestinya membidik perusahaan yang lebih kecil. Perusahaan itu sebaiknya juga mengenal bisnis perusahaan yang dibidiknya. Sebab, perusahaan itu akan sulit melakukan sinergi jika tak mengenal bisnis perusahaan yang dibelinya.?

No comments:

Post a Comment