Adalah hal yang tak terbantahkan, bahwa sains dengan penemuan-penemuan spektakulernya membawa berkah bagi kehidupan manusia berupa kemudahan dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Saat ini kita dapat merasakan bahwa hampir semua pekerjaan dapat dikerjakan oleh mesin mulai dari yang paling berat, rumit dan sulit hingga yang paling sederhana, gampang dan mudah. Dalam tiap ritme kehidupan, kita selalu dikelilingi oleh mesin, seolah kita tidak bisa hidup tanpanya sebagaimana sebagai makhluk seorang makhluk sosial, kita tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya di sekeliling. Demikian adanya bahwa mesin memudahkan, membuai dan memanjakan kehidupan kita. Tetapi sekali lagi kita mesti ingat bahwa modernitas adalah produk ambigu manusia yang menghadirkan dua sisi berhadap-hadapan.
Di satu sisi, modernitas menghadirkan dampak positif dalam hampir seluruh konstruk kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, juga tidak dapat ditampik bahwa modernitas punya sisi gelap yang menimbulkan akses negatif yang sangat bias. Dampak paling krusial dari modernitas menurut Budi Munawar Rahman, adalah terpinggirkannya manusia dari lingkar eksistensi (Komarudin Hidayat & Wahyu Nafis,1995). Menurutnya, manusia modern melihat segala sesuatu hanya berdasar pada sudut pandang pinggiran eksistensi. Sementara pandangan tentang spiritual atau pusat spritualitas dirinya, terpinggirkan. Makanya, meskipun secara material manusia mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatatif dan keseluruhan tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan. Dengan mengutip Schumacher dalam bukunya “A Guide for the perplexed”, manusia kemudian disadarkan melalui wahana krisis lingkungan, bahan bakar, ancaman terhadap bahan pangan dan kemungkinan krisis kesehatan.
Awal mula krisis eksistensial ini sebagaimana yang pernah ditulis oleh Huston Smith dalam bukunya “Kebenaran yang Terlupakan” adalah saat seorang filsuf Perancis Rene Descartes (1596-1650) mempublikasikan karyanya yang berjudul “Discourse on Method of Rightly Conducting the Reason and Seeking the Truth in the Science“. Dalam karyanya ini Descartes dengan jargon Cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada) ingin mengungkapkan bahwa alam adalah sesuatu yang terpisah dari manusia sebagai subjek berpikir. Tidak ada yang tidak dapat diketahui manusia jika ia mau menggunakan pikirannya. Menurut Hikmat Budiman, filsafat Descartes ini dipandang sebagai penghulu terjadinya cara berpikir dualisme, dimana ia telah menghadirkan sebuah distinksi atau perbedaan atau pemisahan antara subjek (res cogitant) sebagai yang berpikir dan objek (res extensa) yang berada di luar. Di antara keduanya dijembatani dengan ilmu pengetahuan alam atau wacana (ergo). Hal ini berkonsekuensi pada terjadinya superioritas subjek terhadap objek, sesuatu dikatakan ada atau tidak ada, tergantung pada dipikirkan atau tidak dipikirkannya oleh subjek. Jika sebelumnya alam dikaitkan dengan eksistensi kekuasaan Yang Maha Agung (Tuhan) yang kemudian termanifestasi dalam figur totem, taboo, animisme, dinamisme bahkan agama, maka metodologi eklektis Cartesian kemudian menjadikan akal sebagai avant-garde eksistensi manusia di hadapan alamnya. Manusia dengan akalnya merasa mampu membedah alam, untuk kemudian menundukkannnya, sehingga alam hanya dijadikan sebagai objek yang dipikirkan (res extansa). Ini kemudiaan disebut oleh Imanuel Levinas, dijuluki sebagai egologi, yaitu ilmu pengetahuan yang berkutat dengan ego manusia.
Kerangka filosofis tersebut yang kemudian mendudukkan alam (nature) sebagai subordinasi dari manusia atau inferior vis a vis manusia (res cogitant). Supremasi ilmu pengetahuan alam dan semangat aufklarung ini yang kemudian memunculkan semangat kapitalisme dan kemudian imperialisme. Hal tersebut dapat kita pahami melalui persfektif teori sistem dunia dan teori ketergantungan.
Pada persoalan lain, secara ekstrem sebenarnya modernitas mengancam eksistensi kemanusiaan. Betapa tidak, dengan ditemukan dan dipakainya bubuk mesiu pada akhir abad ke-15 lalu di Eropa, maka bermunculan senjata-senjata canggih pemusnah massal. Beberapa tragedi dalam lintasan sejarah seperti pengeboman oleh tentara Amerika dengan bom atom di Nagashaki dan Hirosima, penggunaan gas sarin oleh sekte Aom Shinrikyu di stasiun kereta api bawah tanah yang menewaskan banyak orang, tragedi WTC dan masih banyak lagi peristiwa lainnya, ini adalah ciri peperangan pada abad modern yaitu memusnahkan secara massal. Mungkin kita juga masih diingatkan dengan peristiwa ledakan pabrik kimia di Bhopal, India, pada bulan September 1984, atau yang terjadi pada perusahaan nuklir di Chernobyl, di bekas Uni Soviet, pada bulan April 1986, semua menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Pada aspek lingkungan, kita juga mencatat betapa teknologi sangat tidak bersahabat dan mempunyai konstribusi signifikan terhadap kerusakan lingkungan. Lapisan ozon yang telah menipis akibat efek dari banyaknya rumah kaca dan polusi udara yang dihasilkan oleh pabrik serta kendaraan bermotor, hutan yang gundul, pantai yang mengalami abrasi, air sungai yang terkontaminasi dan lain sebagainya adalah akibat logis dari modernitas. Pada ranah ini, tidak hanya eksistensi manusia yang terancam tetapi juga alam secara makro. Sederhananya bahwa alam telah terekploitasi sedemikian bejadnya oleh interest rakus para individu penjelajah harapan dengan mengatasnamakan kepentingan kemanusiaan. Eksploitasi yang tidak logis dan berimbangan ini sejatinya telah merusak relasi arif antara meta cosmic, makro cosmic dan mikro kosmic yang dahulunya saling berdialektika dalam satu relasi interdependensi.
Lain lagi menurut Erich From dalam bukunya “The Revolution of Hop” bahwa dalam kehidupan manusia modern di tengah-tengahnya ada “hantu”. Terma hantu yang dipakai dan dimaksudkannya di sini adalah ilustrasi terhadap pola masyarakat yang dimesinkan secara total, manusia adalah mesin yang mekanis. Totalitas kehidupannya dicurahkan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi material, yang dalam prosesnya -lebih ironis- bahwa ia diarahkan oleh komputer-komputer (baca: mesin). Manusia tidak lagi berfungsi sebagai manusia yang utuh. Dalam proses sosial semacam ini manusia menjadi bagian dari mesin, diberi makan dan hiburan yang cukup, tetapi pasif, tidak hidup dan nyaris tanpa perasaan. Semua persoalan dalam konteks ini ditinjau dari perspektif material, padahal menurut Plato, seorang filosof Yunani, manusia adalah konfigurasi dari dua realitas tak terpisahkan yakni fisik yang mengambil bentuk material dan psikis yang mengambil bentuk jiwa atau spirit. Artinya, mengabaikan atau memprioritaskan salah satunya sama artinya dengan menjadikan manusia bukan manusia sebenarnya.
Hal lain yang juga telah menjadi karakter manusia modern yang materialistik oriented adalah budaya pragmatisme dan hedonisme. Pragmatisme adalah cara pandang yang melihat sesuatu dari nilai manfaat yang dapat dihasil dari sesuatu. Jika ia bermanfaat secara praktis material, maka ia dianggap kebenaran yang bernilai. Demikian juga dengan budaya hedonisme, totalitas kehidupan semuanya diorientasikan untuk sebuah kenikmatan. Kebahagiaan tertinggi adalah karena akumulasi yang banyak dari kenikmatan material, dan sebaliknya kesengsaraan adalah disebabkan manusia tidak menemukan kenikmatan. Motto yang paling terkenal dari kaum hedonis adalah “hidup untuk hari ini”. Dari sini dapat diasumsikan bahwa apa saja menjadi legal dan pantas demi sebuah kenikmatan. Pada proses selanjutnya dapat dipastikan bahwa akan terjadi peminggiran terhadap beberapa sisi dari kemanusian itu sendiri, terutama persoalan moralitas juga etika.
Dalam ranah empiris kemudian dapat kita temukan betapa banyak hari ini penyakit-penyakit sosial yang terjadi di masyarakat, mulai dari pelecehan seksual, pemerkosaan, pengkonsumsian obat-obat terlarang, minuman keras, aborsi, perilaku sadisme dan perilaku-perilaku kriminal lainnya yang kesemuanya menghiasi wajah gelap modernitas. Itulah di antara beberapa anomali yang include dalam modernitas itu sendiri dimana kesemuanya ternyata sangat potensial untuk memberangus sisi-sisi eksistensial kemanusiaan. Sebagai kesimpulan sementara dapat dikatakan, bahwa kemajuan secara kuantitatif material yang dicapai oleh modernitas, tidak diiringi dengan kemajuan kualitatif. Modernitas dengan sederet anomalinya tersebut sedikit banyak telah mengabsurdkan beberapa sisi sejati dari manusia pemujanya. Absurditas[1] inilah yang selanjutnya menyebabkan manusia modern salah orientasi dalam memaknai hakikat hidup yang ia jalani.
Pragmatisme sangat melekat dengan tokoh William James, seorang tokoh filsafat berkebangsaan Amerika. Pragmatisme sendiri sebagai sebuah aliran dan ideology mendapat tempatnya di Amerika dan sangat berkembang subur disana. Hal ini dimungkinkan karena Amerika sangat modern dalam tatanan kehidupan, dengan demikian pragmatisme hanya sebagai aliran yang melegitimasi saja. Lihat lebih lanjut dalam Harold H. Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Hedonisme adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani Hedone yang artinya kenikmatan. Sikap hidup hedonis sendiri sebagai sebuah etika telah mulai ada sejak zaman Yunani Kuno terutama etika yang dikembangkan oleh Aris Thippus, seorang yang mengaku murid Socrates. Dalam etikanya ia mengembangkan sikap hidup yang berlandaskan akumulasi kenikmatan, terutama kenikmatan material.
Absurditas adalah istilah yang sangat melekat pada sosok Albert Camus. Ia menggunakan istilah ini untuk mengambarkan suatu keadaan manusia modern yang tengah mengalami keputusasaan yang disebabkan adanya pemisahan antara dirinya dengan apa yang dilakonkannya.
No comments:
Post a Comment