Dalam pelaksanaan GCG, terdapat perbedaan pelaksanaannya di tiap Negara, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain seperti kerangka hukum, maupun hal-hal yang tidak tertulis namun memiliki pengaruh yang luar biasa pada tingkat keberhasilan penerapan prinsip-prinsip governance yang baik.
Salah satu kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia, seperti Booz-Allen & Hamilton, McKinsey dan Bank Dunia terhadap kinerja perekonomian Indonesia adalah rendahnya praktik Good corporate governance (GCG). Secara umum, GCG sendiri berarti suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mempertinggi nilai saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lain. Dari pengertian tersebut, selanjutnya dapat dijelaskan bahwa GCG tidak lain adalah permasalahan mengenai proses pengelolaan perusahaan, yang secara konseptual mencakup diaplikasikannya prinsip-prinsip transparancy, accountability, fairness dan responsibility. (Umar Farouk, 2001)
Dunia usaha Indonesia telah menarik pelajaran mahal dan pahit tentang absennya praktik GCG selama booming pertumbuhan ekonomi tahun 90-an yang berujung pada krisis moneter yang terjadi pada pertengahan 1997. Di sisi mikro, perusahaan di Indonesia pernah terlena dengan optimisme pertumbuhan ekonomi makro pada rentang waktu tersebut dan terjerat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme karena menganggap hal tersebut sebagai ‘the only game in town saat itu. Krisis ekonomi menjadi moment of the truth bagi dunia bisnis dan perusahaan Indonesia. Ada saat itu kita menyaksikan dunia bisnis Indonesia dipaksa untuk berubah oleh kondisi eksternal. Proses perubahan dari luar ke dalam atau outside-in ini tak jarang berujung kegagalan dan memakan korban karena perubahan tersebut bukan merupakan pilihan sadar dan tidak dipersiapkan dengan matang. Gegar akibat perubahan yang dipaksakan ini tidak jarang meninggalkan trauma yang panjang bagi perusahaan.
Kebalikan dari perubahan outside-in adalah perubahan yang dimulai dari dalam (inside-out). Perubahan ini biasanya diawali dengan kesadaran para pemimpin perusahaan untuk segera berubah, daripada diubah oleh keadaan. Dalam kondisi ini, perubahan dapat dipersiapkan dengan lebih matang dan proses buy-in dari semua anggota organisasi terhadap rencana, arah dan strategi perubahan pun dapat dijalankan secara lebih memadai.
Kesadaran dan keinginan untuk berubah menjadi lebih baik menuju GCG merupakan modal bagi proses lebih lanjut yang disebut transformasi perusahaan. Transformasi memiliki intensitas yang lebih dalam dari perubahan. Transformasi membutuhkan kontrol yang lebih kuat terhadap skenario dan proses oleh para pelaku transformasi tersebut.
Konsultan manajemen McKinsey (2004) mendefinisikan transformasi sebagai perubahan yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan menuju tingkat kinerja yang lebih tinggi berdasar pada kapabilitas dan budaya organisasi. Transformasi yang berhasil mensyaratkan arsitektur program yang artikulatif dan konsisten pada tiga tingkat: agenda perubahan secara keseluruhan, pokok-pokok kinerja yang ingin dicapai, dan inisiatif individual.
Daniri (2008) menyampaikan dalam Bisnis Indonesia bahwa ada Tiga tingkat perubahan itu sejalan dengan Pedoman Umum Good corporate governance (GCG) Indonesia yang diluncurkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada 2007. Pada level agenda perubahan, GCG membutuhkan komitmen dari seluruh jajaran perusahaan dan skenario yang jelas tentang kemana arah yang dituju dengan penerapan GCG.
Pokok-pokok kinerja juga perlu disepakati: mulai dari pemenuhan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan (compliance), kesesuaian dengan standar dan international best practice (conformance), hingga mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh pemangku kepentingan, yang dapat diartikan sebagai pencapaian (achievement) yang ingin diraih dari penerapan GCG.
Menyedihkan sejak 5 tahun lebih yang lalu, pemerintah telah mencanangkan penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Bahkan di awal 2003, 10 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi proyek percontohan penerapan GCG telah memaklumatkan komitmen bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG. Sejumlah konsultan kaliber dunia disambat untuk memberi masukan. Hasilnya? "Boleh dibilang proses bisnis yang kini berlangsung masih sama saja dengan sebelum pencanangan penerapan GCG," ungkap seorang petinggi di sebuah BUMN yang sudah go public.(Teguh, 2005)
Pengakuan jujur petinggi tadi sejalan dengan temuan survei corporate governance Perception Index (CGPI) yang dilakukan Indonesia Institute for corporate governance (IICG) dan Majalah SWA. Inilah survei tahunan keempat yang dilakukan sejak 2001. CGPI 2004 merupakan survei dan pemeringkatan penerapan GCG pada perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Tahun 2004, survei dilakukan pada emiten yang terdaftar Juni-Desember 2004 secara sukarela (Teguh, 2005)
Lihat Juga Artikel dengan cara meng KLIK di bawah ini :
http://globalsearch1.blogspot.com/
http://ayuarifahharianja.blogspot.com/
http://dinulislami.blogspot.com/
Lihat Juga Artikel dengan cara meng KLIK di bawah ini :
http://globalsearch1.blogspot.com/
http://ayuarifahharianja.blogspot.com/
http://dinulislami.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment