Komite Nasional Kebijakan corporate governance (KNKCG) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan yang menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan. Kondisi pelaksanaan corporate governance oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut (dalam Aries, 2008):
1. Hasil survai internasional memberikan nilai
yang rendah kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam mewujudkan
prinsip-prinsip good corporate governance,
bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Hasil survai
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a.
Survai
yang dilakukan oleh Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA) terhadap
standar-standar corporate governance
yang dilakukan oleh 495 perusahaan di 25 negara berkembang selama bulan
Februari sampai dengan bulan April tahun 2001 menunjukkan bahwa rata-rata skor
total untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia yang disurvai hanya sebesar
37,81 dari skala 0,00-100,00 (100,00 adalah nilai tertinggi). Skor ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan skor total untuk perusahaan-perusahaan yang
disurvai di negara Singapura (64,50), Malaysia (56,60), India (55,60), Thailand
(55,10), Taiwan (54,60), Cina (49,10), Korea (47,10), dan Pilipina (43,90)
(Aries 2008,). Dalam hal ini, terdapat 7 (tujuh) aspek yang dinilai oleh CLSA,
yaitu: transparansi, kedisplinan manajemen, kemandirian, akuntabilitas,
tanggung jawab, keadilan, dan kepedulian sosial dari perusahaan.
b.
Pada
tahun 2002, dengan menggunakan standar penilaian yang sama dengan tahun
sebelumnya, survai yang dilakukan oleh CLSA terhadap 475 perusahaan di 20 negara
(termasuk Asia) menunjukkan bahwa rata-rata skor total untuk
perusahaan-perusahaan di Indonesia yang disurvai hanya sebesar 38,20 dari skala
0,00-100,00. Walaupun skor ini lebih tinggi dibandingkan dengan skor yang
diperoleh pada tahun sebelumnya, namun skor ini tetap lebih rendah dibandingkan
dengan skor negara-negara Asia lainnya. Singapura mempunyai skor 65,40,
Malaysia mempunyai skor 64,10, India mempunyai skor 62,20, Thailand mempunyai
skor 60,00, Taiwan mempunyai skor 59,20, Cina mempunyai skor 50,80, Korea
mempunyai skor 62,00, dan Pilipina mempunyai skor 44,00
c.
Pada
tahun 2003, CLSA pertama kali bekerja sama dengan Asian corporate governance Association (ACGA) dalam melakukan survai
terhadap pelaksanaan corporate governance
oleh perusahaan-perusahaan di kawasan Asia. Survai ini masih menggunakan
standar penilaian yang sama dengan tahun 2001 dan 2002 dan dilakukan terhadap
380 perusahaan di 10 (sepuluh) negara Asia. Hasil survai menunjukkan bahwa
rata-rata skor total untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia yang disurvai
hanya sebesar 43,00 dari skala 0,00-100,00. Walaupun skor ini tampak lebih
tinggi dibandingkan dengan skor pada tahun sebelumnya, namun masih lebih rendah
dibandingkan dengan skor dari kebanyakan negara Asia lainnya. Hanya ada satu negara
yang disurvai yang memiliki skor lebih rendah dibandingkan Indonesia, yaitu
Pilipina. Singapura mempunyai skor 69,50, Malaysia mempunyai skor 65,00, India
mempunyai skor 64,80, Thailand mempunyai skor 60,20, Taiwan mempunyai skor
58,70, Cina mempunyai skor 57,40, Korea mempunyai skor 70,80, dan Pilipina
mempunyai skor 39,80 (Gill dan Allen, 2003)
d.
Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2004, CLSA dan ACGA melakukan
penilaian pelaksanaan corporate
governance berdasarkan pada 5 (lima) aspek makro, yaitu: (i) hukum dan
praktek, (ii) penegakan hukum, (iii) lingkungan politik, (iv) standar-standar
akuntansi dan audit, serta (v) budaya
corporate governance. Masing-masing aspek mempunyai sejumlah pernyataan
yang harus dijawab dengan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ atau ‘kadang-kadang’.
Jawaban ‘ya’ diberi nilai satu, jawaban ‘tidak’ diberi nilai nol, dan jawaban
‘kadang-kadang’ diberi nilai setengah. Hasil survai pada tahun 2004 ini
menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai skor yang masih rendah di bandingkan
dengan negara-negara Asia lainnya, yaitu 40,00. Sebagai perbandingan, Singapura
mempunyai skor 75,00, Hong Kong mempunyai skor 67,00, India mempunyai skor
62,00, Malaysia mempunyai skor 60,00, Taiwan mempunyai skor 55,00, Korea
mempunyai skor 58,00, Thailand mempunyai skor 53,00, Pilipina mempunyai skor
50,00, dan Cina mempunyai skor 48,00 (Allen, 2004)
e.
Pada
tahun 2005, dengan menggunakan standar penilaian yang sama dengan tahun 2004,
hasil survai dari CLSA dan ACGA menunjukkan bahwa Indonesia masih menempati
posisi yang terendah dengan skor sebesar 37,00. Sebagai perbandingan, Singapura
mempunyai skor 70,00, Hong Kong mempunyai skor 69,00, India mempunyai skor
61,00, Malaysia mempunyai skor 56,00, Taiwan mempunyai skor 52,00, Korea dan
Thailand mempunyai skor 50,00, Pilipina mempunyai skor 46,00, dan Cina
mempunyai skor 44,00 (Gill dan Allen, 2005).
f.
Pada
tahun 2007, dengan menggunakan standar penilaian yang sama dengan tahun 2004
dan 2005, hasil survai dari CLSA dan ACGA terhadap 582 perusahaan yang terdaftar
pada bursa saham di 11 (sebelas) negara Asia menunjukkan bahwa Indonesia masih
menempati posisi yang terendah dengan skor sebesar 37,00. Sebagai perbandingan,
Hong Kong mempunyai skor 67,00, Singapura mempunyai skor 65,00, India mempunyai
skor 56,00, Taiwan mempunyai skor 54,00, Jepang mempunyai skor 52,00, Korea dan
Malaysia mempunyai skor 49,00, Thailand mempunyai skor 47,00, Cina mempunyai
skor 45,00, dan Pilipina mempunyai skor 41,00 (Gill dan Allen, 2007).
2. Hasil survei yang dilakukan oleh IICG (The
Indonesian Institute for corporate
governance) tentang persepsi good
corporate governance di Indonesia dalam bentuk Good corporate governance Perception Index menunjukkan bahwa pada
perusahaan-perusahaan yang telah terbuka saja yang pada dasarnya mempunyai
tanggung jawab kepada publik dan secara kebetulan menjadi responden dalam
survai, ternyata tidak semuanya menempatkan good
corporate governance sebagai perhatian utama. Disamping itu, sejak survai
pertama yang dilakukan oleh IICG (tahun 2001) sampai dengan survai keenam
(tahun 2006), rata-rata perusahaan yang bersedia mengikuti survai kurang dari 10 (sepuluh) persen terhadap
total perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan (Djatmiko, 2004)
3. Hasil penelitian Sulistyanto dan Nugraheni
menunjukkan bahwa corporate governance
belum mampu mengurangi manipulasi laporan-laporan keuangan yang dipublikasikan
oleh perusahaan-perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
(Sulistyanto dan Wibisono, 2003)
Lihat Juga Artikel dengan cara meng KLIK di bawah ini :
No comments:
Post a Comment