Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, dapat dikatakan bahwa dalam bisnis modern dewasa ini orang di tuntut untuk bersaing secara etis tanpa mengenal adanya perlindungan dan dukungan politik tertentu, semua perusahaan bisnis mau tidak mau harus bersaing berdasarkan prinsip etika tertentu. Persoalannya, demikian kata De George, etika siapa? Ini berlaku dalam bisnis global yang tidak mengenal batas negara. Konkretnya, etika masyarakat mana yang harus diikuti oleh sebuah perusahaan multinasional dari Amerika, misalnya, yang beroperasi di Asia, dimana norma etika dan cara melakukan bisnis bisa berbeda sama sekali dari yang ditemukan di Amerika?
Persoalan ini sesungguhnya menyangkut apakah norma dan prinsip etika bersifat universal atau terkait dengan budaya. Untuk menjawab pertanyaan ini menurut De George, kita perlu melihat terlebih dahulu tiga pandangan yang umum. Pandangan pertama, bahwa norma etis berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Maka prinsip pokok yang dipegang adalah di mana saja perusahaan beroperasi, ikuti norma dan aturan moral yang berlaku dalam negara tersebut. Pandangan kedua, bahwa norma sendirilah yang paling benar dan tepat. Karena itu prinsip yang harus dipegang adalah bertindaklah dimana saja sesuai prinsip yang dianut dan berlaku di negaramu sendiri. Pandangan ketiga, adalah pandangan yang disebut De George immoralis naif yang mengatakan bahwa tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali. Karena pandangan ini tidak benar, maka tidak akan di bahas disini.
Akan tetapi pandangan peertama sedikit didukung oleh A. MacIntyre, menekankan bahwa setiap komunitas mempunyai nilai moral dan budaya sendiri yang sama bobotnya dan harus dihargai. Maka, dalam kaitan dengan bisnis internasional, perusahaan multinasional harus broperasi dengan dan berdasarkan nilai moral dan budaya yang berlaku di negara tempat perusahaan itu beroperasi. Inti pandangan ini adalah bahwa tidak ada norma atau prinsip moral yang berlaku universal. Maka, pokok yang harus di pegang adalah bahwa prinsip dan norma yang dianut negara tuan rumah itulah yang dipatuhi dan dijadikan pegangan. Namun, yang menjadi persoalan adalah anggapan bahwa tidak ada nilai dan norma moral yang bersifat universal yang berlaku di semua negara dan masyarakat; bahwa nilai dan norma yang berlaku di satu negara berbeda dari yang berlaku di negara lain. Oleh karena kitu, menurut pandangan ini norma dan nilai moral bersifat relatif. Ini tidak benar karena bagaimanapun mencuri, merampas, tidak jujur pada orang lain dimanapun juga akan di kecam dan dianggap sebagai tidak etis.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa pandangan ini tidak membedakan antara moralitas dan hukum. Keduanya memang ada kaitan satu sama lain, namun berbeda hakikatnya. Hukum adalah positivasi norma moral sesuai dengan harapan dan cita – cita serta tradisi budaya suatu masyarakat atau negara. Jadi, bisa saja hukum disatu negara berbeda dari hukum dinegara lain sesuai dengan apa yang dianggap paling penting bagi kehidupan suatu negara dan sesuai dengan pertimbangan negara tersebut. Tapi, ini lalu tidak berarti bahwa norma dan nilai moral antara negara yang satu dan negara yang lain tidak sama. Bahwa prinsip tidak boleh merugikan pihak lain dalam berbisnis merupakan prinsip universal yang dianut dimana saja, tidak bisa di bantah. Bahwa di pihak lain di Amerika ada undang-undang anti-monopoli ( karena monopoli merugikan banyak pihak) sementara di Indonesia tidak ada undang-undang anti-monopoli (bahkan terjadi monopoli ilegal) tidak berarti prinsip tidak merugikan orang lain tidak bersifat universal. Persoalannya adalah bahwa perkembangan situasi dan kemauan politik pemerintah berbeda sehingga ada situasi hukum yang berbeda.
Pandangan kedua mengenai nilai dan norma moral sendiri paling benar dalam arti tertentu mewakili kubu moralisme; bahwa pada dasarnya norma dan nilai moral berlaku universal, dan karena itu apa yang dianggap dan dianut sebagai benar di negara sendiri harus juga diperlakukan di negara lain ( karena anggapan bahwa di negara lain prinsip itu pun pasti berlaku dengan sendirinya). Pandangan ini umumnya didasarkan pada anggapan bahwa moralitas menyangkut baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, sejauh manusia adalah manusia., dimanapun dia berada prinsip, nilai, dan norma moral itu akan tetap berlaku.
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Karena, ada bahaya bahwa perusahaan luar memaksakan nilai dan norma moralnya yang sudah dikodifikasikan dalam hukum tertulis tertentu untuk diberlakukan di negara dimana perusahaan itu beroperasi. Ada bahaya bahwa perusahaan Amerika akan memaksakan hukum bisnis tertentu ( yang dijiwai oleh prinsip moral tertentu) di negara di mana perusahaan itu beropersi karena anggapan bahwa prinsip dan nilai moral tertentu berlaku universal. Persoalannya, sering perkembangan ekonomi, sosial, politik, negara tuan rumah belum semaju perkembangan ekonomi, sosial, politik di negara asal suatu perusahaan sehingga hukum yang berlaku di negara asal belum tentu bisa diterapkan begitu saja di negara tuan rumah ( kendati tidak bisa disangkal bahwa norma moral yang menjadi dasarnya diakui di negara tuan rumah). Namun menurut De George prinsip yang paling pokok yang berlaku universal, khususnya dalam bisnis adalah prinsip integritas pribadi atau integritas moral. Bagi de George, dalam bisnis modern bersaing secara etnis berarti bersaing dengan penuh integritas pribadi.
Ada dua keunggulan prinsip integritas pribadi dibandingkan dengan prinsip moral lainnya, yang menjadi alasan mengapa De George menganggapnya sebagai prinsip moral paling universal bagi dunia bisnis. Pertama, prinsip integritas pribadi tidak punya konotasi negatif seperti halnya pada prinsip-prinsip moral lainnya, bahkan pada kata etika dan moralitas itu sendiri. Bagi banyak orang, kata etika, apalagi prinsip etika, mempunyai nada moralitas dan paksaan dari luar. Sebaliknya bertindak berdasarkan integritas pribadi berarti bertindak sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima dan dianut diri sendiri dan juga berarti memberlakukan pada diri sendiri norma-norma yang juga di tuntut oleh etika dan moralitas. Dengan kata lain, prinsip integritas pribadi mengandung pengertian bahwa norma yang dianut adalah norma yang sudah diterima menjadi milik pribadi dan tidak lagi bersifat aksternal. Ini berarti bersaing dengan mempertaruhkan integritas pribadi berarti bersaing dalam bisnis sesuai dengan nilai tertinggi yang dianut pribadi tersebut. Prinsip integritas moral disini sesungguhnya sama dengan prinsip otonomi pada Khant. Hal yang sama berlaku dalam perusahaan.
Berbisnis dengan mempertahankan integritas moral perusahaan berarti berbisnis dengan mematuhi norma dan prinsip moral yang sesungguhnya sudah dijadikan etos bisnis tersebut. Maka, prinsip etika bisnis disini tidak lagi menjadi sesuatu yang dipaksakan dari luar oleh masyarakat, oleh pihak lain, ataupun oleh negara, melainkan justru telah dijadikan iklim, jiwa, semangat, etos dari perusahaan tersebut. Secara maksimal, pelaku bisnis diharapkan mempunyai kemauan baik dan kesadaran moral untuk berbisnis yang secara baik, dan tidak sekedar dipaksa oleh prinsip dalam bentuk aturan-aturan bisnis yang ketat. Ini mempunyai lingkup yang luas mencakup bertindak jujur, bertanggung jawab, atas produk yang ditawarkan, fair dalam transaksi dagang, jaminan terhadap hak karyawan, dan sebagainya. Yang menjadi persoalan adalah konsep integritas pribadi atau inegritas moral lebih merupakan suatu konsep Amerika atau Barat pada umumnya. Bagi Indonesia rasanya konsep ini tidak punya nilai dan muatan moral sama sekali.
Orang begitu mudah mengabaikannya. Orang begitu gampang melakukan tindakan yang merusak integirtas pribadi atau nama baiknya sendiri. Bahkan integritas pribadi hampir tidak kenal sama sekali. Berbagai kasus korupsi dalam bentuk kasus korupsi dalam bentuk suap, kolusi, surat-surat sakti baik dalam bidang politik-birokrasi maupun bisnis menunjukkan betapa integritas pribadi di abaikan begitu saja. Kasus Eddy Tansil dan dugaan kolusi di MA membuat kita mempertanyakan konsep integritas moral dan pribadi orang – orang kita, bahkan dari orang – orang yang mempunyai kedudukan terhormat. Orang – orang terhormat dalam masyarakat karena kedudukannya di bidang politik dan bisnis ternyata tidak punya integritas pribadi sama sekali. Karena itu,prinsip integritas pribadi yang dianggap De George sebagai prinsip moral paling universal bagi dunia bisnis ternyata syarat dengan kandungan historis-kultural dan karena itu relatif sifatnya.
Ini tidak berarti Prinsip integritas moral ditolak sama sekali. Prinsip ini tetap penting. Hanya saja prinsip ini punya kelemahan yang tidak terelakkan seperti prinsip moral lainnya: hanya berhenti sebagai imbauan. Oleh karena itu, sebagai moralitas pada umumnya masyarakat tidak bisa berbuat banyak ketika orang tertentu tidak peduli pada integritas moralnya. Maka,dalam konteks dimana integritas pribadi dan moral mempunyai gema yang kuat. Tentu saja kita tetap optimis bahwa dalam bsinis global yang mengandalkan mekanisme pasar yang tidak pandang bulu, integritas pribadi lama kelaman dapat menjadi sebuah prinsip yang menentukan bagi kegiatan bisnis yang etis. Ini terutama karena dengan mengandalkan pasar global, praktik-praktik monopolistis dan kolusi relatif akan tergusur sehingga orang mau tidak mau akan lebih mangandalkan integritas pribadinya, yang ditunjukkan oleh keunggulan objektifnya dalam pasar.
No comments:
Post a Comment