Laporan keuangan
sebuah perusahaan, baik neraca, rugi-laba, maupun laporan arus kas, menyajikan
banyak data untuk investor. Ibarat bahan baku masakan, jika investor pintar
mengolahnya, ia akan bisa meneropong prospek masing-masing perusahaan dengan
lebih jelas. Cara yang termudah, investor bisa menghitung rasio-rasio keuangan
perusahaan-perusahaan tersebut.
Belum cukup jika investor hanya
sekedar melihat angka-angka yang tercantum di dalam laporan keuangan sebuah
perusahaan. Selanjutnya, kita harus melakukan analisis atas laporan-laporan
keuangan tersebut. Salah satu teknik dalam melakukan analisis laporan keuangan
adalah dengan melakukan analisis atas rasio-rasio keuangan perusahaan. Secara
garis besar, rasio-rasio keuangan itu bisa dikelompokkan ke dalam lima macam
rasio. Yang pertama adalah rasio likuiditas. Rasio ini mengukur kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya.
Selanjutnya, ada pula rasio
utang atau rasio leverage. Dengan rasio ini, investor bisa mengukur seberapa
banyak sebuah perusahaan membiayai perusahaan dengan utang atau dana dari pihak
luar. Lalu, ada rasio aktivitas, yaitu rasio yang mengukur seberapa efektif
perusahaan menggunakan sumber daya yang dimilikinya. Dengan rasio ini kita bisa
mengukur tingkat efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan aset untuk
menghasilkan pendapatan.
Rasio yang tak kalah pentingnya
adalah rasio profitabilitas. Rasio ini mengukur kemampuan sebuah perusahaan
dalam menghasilkan laba baik dari penjualan, aset, maupun laba dari modalnya.
Yang terakhir adalah rasio
saham. Rasio ini banyak manfaatnya. Selain bisa mengukur mahal-murahnya atau
valuasi suatu saham, investor juga bisa mengukur potensi keuntungan dividen
yang bisa dipetiknya. Jadi, rasio ini sangat berguna saat investor mencari
saham yang memiliki potensi keuntungan terbesar
PE Ratio
Ibarat pisau
bedah, rasio harga terhadap laba bersih per saham atau price/earning ratio (PE)
sangat sering dipakai oleh analis saham dalam menganalisa mahal-murahnya suatu saham.
Tapi, hati-hati, PE sendiri ada berbagai jenis. Ada yang berdasarkan data
historis, ada yang menggunakan data proyeksi.
Beberapa waktu lalu, kita telah
menyinggung soal rasio harga terhadap laba bersih per saham atau price/earning
ratio(PE). Tapi, alangkah baiknya jika kita membahasnya secara lebih mendalam.
Sebab, rasio PE merupakan rasio yang paling tua dan paling sering dipakai oleh
investor untuk menimbang suatu saham. Meskipun merupakan indikator yang
nampaknya sederhana, PE terkadang tak gampang dipahami. Rasio ini bisa sangat
informatif dan berguna, tapi di lain waktu, bisa pula ia hampir tak ada
gunanya. Akibatnya, investor sering salah menggunakan PE.
Sesuai namanya, PE adalah rasio
harga saham suatu perusahaan terhadap laba bersih per sahamnya. Untuk
menghitungnya, kita tinggal membagi harga per saham dengan laba bersih per
saham. Adapun laba bersih per saham atau earning per share (EPS) sendiri
diperoleh dari membagi laba bersih dengan rata-rata jumlah saham beredarnya.
Harga saham yang dipakai untuk
menghitung PE adalah harga saham pada saat ini. Sementara, laba bersih per
saham atau EPS-nya, umumnya, menggunakan EPS perusahaan dalam periode
sebelumnya, misalnya satu tahun terakhir. Hasil perhitungan seperti ini sering
disebut sebagai trailing PE atau gampangnya kita sebut saja PE historis. Nah,
sebagian besar PE yang dipublikasikan adalah PE jenis ini. Namun, kadang kala
EPS yang digunakan adalah EPS estimasi untuk periode satu tahun yang akan
datang. PE yang menggunakan hitungan seperti ini sering disebut dengan PE
proyeksi atau projected PE. Tidak ada perbedaan sangat besar
dari variasi PE itu. Tapi, harus Anda paham bahwa PE yang pertama menggunakan
data historis. Sementara, PE proyeksi menggunakan ramalan analis - yang belum
tentu tepat -- sebagai dasar.?
Jangan terkecoh dengan pecahan
harga saham yang tinggi. Saham dengan harga Rp 2.000 per saham belum tentu
lebih mahal jika dibandingkan saham berbanderol Rp 1.000 per saham. Untuk bisa
menentukan saham mana yang lebih mahal atau lebih murah, investor bisa
menggunakan rasio harga terhadap laba per saham atau PE saham tersebut sebagai
salah satu alat ukurnya.
Secara teori, PE memberikan
gambaran kepada kita seberapa besar investor bersedia untuk membayar setiap
rupiah laba bersih yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Jadi, jika rasio PE
PT Murah sebesar 20 kali, artinya investor bersedia membayar dengan harga Rp 20
untuk setiap Rp 1 laba bersih yang dihasilkan oleh PT Murah. Cuma penjelasan
seperti ini sebenarnya sangat sederhana karena tidak bisa menangkap prospek
pertumbuhan PT Murah tersebut.
Meskipun laba per saham atau
earning per share (EPS) yang digunakan untuk menghitung PE umumnya berasal dari
EPS dalam 12 bulan terakhir, PE sebenarnya lebih dari sekadar alat untuk
mengukur kinerja perusahaan di masa lalu. PE sebenarnya juga menggambarkan
ekspektasi pasar terhadap pertumbuhan kinerja perusahaan di masa mendatang. Ingat, harga saham mencerminkan
ekspektasi investor atas nilai suatu perusahaan di masa mendatang. Jadi,
sebenarnya PE juga bisa mencerminkan seberapa besar optimisme pasar atas
prospek pertumbuhan suatu perusahaan.
Jika PE suatu perusahaan lebih tinggi dibandingkan PE perusahaan-perusahaan
lain yang ada di industrinya, artinya investor mengharapkan sesuatu yang besar
- yang positif tentunya- akan terjadi dalam perusahaan itu dalam beberapa bulan
atau beberapa tahun lagi. Rasio PE juga bisa menjadi
indikator mahal-murahnya suatu saham. Secara sederhana, saham seharga Rp 100
dengan PE 20 kali lebih mahal dibandingkan saham berharga Rp 200 yang memiliki
PE 10 kali. Tapi, analisis seperti ini
memiliki kelemahan karena kita tidak bisa membandingkan saham perusahaan hanya
berdasarkan PE-nya.?
Investor tidak bisa sembarangan
membandingkan PE saham perusahaan yang satu dengan yang lainnya. Ia harus
melihat dahulu, apakah perusahaan itu memang berada dalam industri yang sama
atau sejenis. Sebab, jika industrinya berbeda, membandingkan PE saham tak akan
banyak berguna.
Memang, secara sederhana,
investor bisa menilai mahal-murahnya suatu saham dengan membandingkan rasio
harga terhadap laba bersih per saham atau PE-nya. Namun, analisis seperti ini
memiliki kelemahan. Sebab, sebenarnya kita tidak bisa membandingkan harga saham
perusahaan semata-mata berdasarkan besar-kecil PE-nya.
Agar analisisnya lebih komprehensif, ada beberapa faktor tambahan yang harus diperhatikan oleh investor. Yang pertama, adalah tingkat pertumbuhan perusahaan yang umumnya diukur dengan tingkat pertumbuhan penjualan atau pendapatannya. Investor harus mencermati seberapa cepat suatu perusahaan mampu tumbuh di masa lalu dan mengukur apakah tingkat pertumbuhan itu masih akan berlanjut atau meningkat di masa mendatang.
Kita patut hati-hati jika suatu
perusahaan memiliki pertumbuhan yang rendah di masa lalu, misalnya hanya 5%,
tapi PE-nya sangat tinggi. Jika kita sudah memperhitungkan ekspektasi
pertumbuhan perusahaan di masa mendatang dan tetap menilai bahwa PE perusahaan
itu terlalu tinggi, kemungkinan besar saham perusahaan itu memang sudah
kemahalan.
Yang kedua, kita juga harus
melihat industrinya. Membandingkan PE saham beberapa perusahaan hanya akan
bermanfaat jika perusahaan-perusahaan itu itu memang berada dalam industri yang
sama. Misalnya, kita harus membandingkan PE saham perusahaan telekomunikasi
dengan PE saham perusahaan telekomunikasi lainnya. Sebab, masing-masing
industri memiliki tingkat pertumbuhan dan ciri-ciri yang berbeda-beda, sehingga
PE-nya juga berbeda.?
No comments:
Post a Comment