Meneliti Reksadana Terproteksi
Sejak awal tahun 2006 lalu, muncul jenis reksadana baru yang memberikan iming-iming setinggi langit kepada investor. Namanya reksadana terproteksi atau capital protected fund (CPF).
Belakangan ini, penawaran produk-produk reksadana terproteksi semakin marak. Total nilai dana yang telah diinvestasikan di reksadana jenis ini sudah mencapai Rp 11,9 triliun. Jangan heran. Reksadana terproteksi memang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan reksadana-reksadana lainnya, yakni ia bisa melindungi investasi awal investor. Tapi, ia juga mengandung banyak risiko.
Sesuai dengan namanya, reksadana terproteksi memang memberikan proteksi atawa perlindungan kepada investor. Apa yang diproteksi? Yang diproteksi adalah nilai investasi awal yang disetorkan oleh investor. Jadi, pokok investasi awal investor akan tetap 100%. Taruh kata Anda menginvestasikan uang Rp 20 juta; duit itu tidak akan berkurang sampai reksadana itu bisa dicairkan. Inilah yang membuat CPF agak mirip deposito.
Yang menarik, ada pula beberapa produk CPF yang memberikan proteksi tambahan berupa tingkat keuntungan tertentu. Jadi, yang dilindungi bukan cuma investasi awalnya, tapi juga keuntungannya. Sebagai contoh ada reksadana terproteksi yang memberikan proteksi sebesar 108%. Ini artinya selain memperoleh proteksi investasi awal sebesar 100%, investor juga bakal memperoleh keuntungan minimal sebesar 8%.
Perlindungan yang diberikan oleh reksadana terproteksi itu tentu saja bukan datang dari langit. Tapi, jaminan atas keutuhan investasi awal investor itu juga bukan datang dari sebuah institusi penjamin; baik asuransi, bank sentral, atau yang lainnya. Yang memberikan proteksi, tak lain, adalah skim investasi reksadana terproteksi itu sendiri. Maksudnya, manajer investasi akan menyusun portofolio tertentu yang bisa melindungi investasi awal investor.
Yang paling ideal, MI reksadana terproteksi umumnya menerapkan strategi static portfolio hedging. Dalam strategi ini, MI menyusun sebuah portofolio investasi yang memberikan lindung nilai (hedging) atas investasi awal investor. Caranya adalah dengan menginvestasikan sebagian besar dana investor di instrumen obligasi tanpa bunga (zero coupon bond).
Ambil contoh, sebuah MI mengelola dana sebesar Rp 100 miliar di CPF-nya. Ia lantas menggunakan Rp 80 miliar (80%) dana itu untuk membeli zero coupon bond perusahaan X yang kebetulan harganya juga 80% (untuk menggantikan bunga, biasanya zero coupon bond dijual dengan harga diskon). Sisa dana yang Rp 20 miliar diinvestasikan di instrumen investasi lain; bisa deposito, saham, valuta asing (valas), dan lain-lainnya. ?
Sabtu lalu kita sudah membahas contoh pengelolaan portofolio reksadana terproteksi secara statis (static portfolio hedging); yaitu dengan menginvestasikan 80% duit investor di obligasi bebas bunga (zero coupon bond).
Umumnya manajer investasi menginvestasikan sebagian besar dana investor reksadana terproteksi atau capital protected fund (CPF) di dalam obligasi atau surat utang. Tapi, tidak seperti di reksadana pendapatan tetap, MI tidak memperdagangkan obligasi ini; melainkan menyimpannya sampai jatuh tempo.
Nah, selain alokasinya khusus, cara pengelolaan portofolionya juga spesial. Obligasi bebas bunga yang sudah dibeli itu tidak boleh diperdagangkan; tapi harus disimpan saja hingga jatuh tempo.
Dengan portofolio dan strategi seperti itu, pada saat zero coupon bond jatuh tempo, duit yang 80% itu akan berbiak menjadi 100%. Pasalnya, ketika jatuh tempo obligasi itu akan dibayar penuh 100%. Praktis, nilai investasi awal CPF yang Rp 100 miliar pun tetap utuh.
Jika 20% duit yang diinvestasikan di instrumen lain juga berbiak, investor juga bisa mengantongi keuntungan lebih. Sayangnya, suplai zero coupon bond di pasar obligasi Indonesia sangat minim. Jadi, jangan heran kalau nyaris tak ada MI di Indonesia yang menerapkan strategi static portfolio hedging tersebut.
Sebagai alternatif, para MI kemudian mengganti obligasi bebas bunga itu dengan obligasi biasa. Tapi, tentu saja, mereka tidak asal comot obligasi. Obligasi yang mereka pilih umumnya adalah obligasi pemerintah atau obligasi swasta yang memiliki rating BBB atau lebih tinggi. Karena digunakan untuk melindungi investasi awal para investor, porsi investasi obligasi ini biasanya sangat besar; sekitar 80%-100% dari total dana.
Tapi, jangan asal tubruk. Meskipun namanya terproteksi; reksadana ini tetap memiliki banyak risiko. Risiko yang pertama adalah risiko likuiditas. Pihak MI biasanya melarang investor menarik duitnya sewaktu-waktu. Kalaupun bisa menarik, pihak MI biasanya akan memungut biaya penarikan (redemption fee) yang tinggi.
Agar terbebas dari biaya penarikan tersebut, investor harus bersabar menunggu sampai saat jatuh tempo. Jangan bingung, sebab reksadana terproteksi ini memang memiliki jatuh tempo; bisa 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, atau sampai 5 tahun. Karena MI berinvestasi di obligasi, reksadana terproteksi juga mengandung risiko kredit (credit risk). Ketika jatuh tempo, mungkin saja emiten obligasi itu ternyata gagal bayar (default).
Dalam edisi Selasa (20/3), kita sudah membahas bahwa, mirip dengan reksadana pendapatan tetap, reksadana terproteksi juga memiliki risiko likuiditas dan risiko kredit. Selain kedua risiko itu, ada lagi yang disebut risiko akselerasi. Maksudnya, dalam kondisi tertentu, misalnya terjadi krisis ekonomi lagi atau tiba-tiba pemerintah mengenakan pajak atas bunga obligasi yang dibeli reksadana, mungkin saja manajer investasi (MI) melikuidasi reksadana terproteksinya di tengah jalan.
Jika ini terjadi, investasi awal investor pun belum tentu akan kembali utuh.
Variasi produk reksadana terproteksi semakin lama semakin banyak saja. Akibatnya, tingkat risiko masing-masing produk pun menjadi sangat beragam. Agar tak salah pilih, investor harus memperhatikan beberapa aspek penting ketika memilih produk reksadana terproteksi. Aspek-aspek itu adalah: profil risiko investor, tingkat proteksi produk, dan masa jatuh temponya.
Nah, jika siap memikul risiko-risiko itu, Anda boleh mencoba untuk membeli produk reksadana terproteksi. Kebetulan, reksadana jenis ini saat ini memang sedang marak ditawarkan.
Tapi, Anda tidak bisa membeli reksadana terproteksi tersebut setiap saat. Soalnya, berbeda dengan reksadana pada umumnya, reksadana terproteksi hanya ditawarkan dalam jangka waktu yang terbatas. Umumnya, lama masa penawaran itu adalah sekitar satu bulan. Setelah masa penawaran selesai, investor tidak bisa masuk lagi.
Nah, agar tak salah pilih, secara umum, ada beberapa tip yang harus Anda perhatikan pada saat akan memilih produk reksadana terproteksi.
Pertama, kenali dahulu profil risiko Anda. Jika Anda termasuk orang yang cenderung menghindari risiko tinggi (risk averter), belilah reksadana terproteksi yang alokasi investasi terbesarnya di obligasi pemerintah. Biar lebih aman, akan lebih baik lagi jika Anda bisa menemukan produk yang telah bekerjasama dengan pihak ketiga sebagai pembeli siaga. Tugas pihak ketiga ini adalah menjadi penampung jika ada nasabah yang menjual unit-unit reksadananya sebelum jatuh tempo.
Kedua, perhatikan tingkat proteksi yang diberikan. Proteksi ini dinyatakan dalam persentase. Semakin tinggi persentase proteksinya, semakin menguntungkan.
Ketiga, pilih reksadana terproteksi yang masa jatuh temponya sesuai dengan kebutuhan dana Anda. Jangan menginvestasikan dana yang akan dibutuhkan dalam jangka pendek ke dalam reksadana terproteksi jangka panjang. Ingat dana Anda akan dikunci, dan tak bisa ditarik setiap saat.
Keempat, baca prospektus reksadana terproteksi sebelum membelinya. Perhatikan klausul-klausul yang bisa membuat proteksi reksadana tersebut gugur.
No comments:
Post a Comment