Usaha kecil dan menengah (UKM)
memegang peranan penting dalam perekonomian karena dapat menjadi ujung tombak
industri nasional, menyerap tenaga kerja, menyumbang devisa dan ikut membayar
pajak. Usaha menengah bersama dengan usaha-usaha kecil pada negara-negara di Asia
telah memberikan kontribusi bagi 35% nilai ekspor Asia (Organisasi untuk
Pengembangan & kerjasama Ekonomi di Asia, 1997). Di Indonesia usaha kecil
dan menengah telah menyumbang 28 persen
PDB (Departemen Perindustrian, 2005). Oleh karena itu, pada era globalisasi
yang penuh dengan persaingan, kompleks dan dinamis, upaya pengembangan usaha
kecil dan menengah merupakan sebuah keharusan. Pembinaan UKM masih perlu
dilakukan mengingat sampai saat ini masih menghadapi banyak masalah.
Berdasarkan penelitian Departemen Perindustrian tahun 2005, diketahui UKM memiliki
masalah, (a) kekurangan modal yang disebabkan ketidaklancaran masuknya modal ke
pelaku industri sebagai akibat keterbatasan fasilitas perbankan dan peran serta
lembaga keuangan lainnya, (b) keterbatasan akses pasar karena kurangnya
informasi mengenai perubahan dan peluang pasar, (c) pengetahuan bisnis dan
strategi pemasaran yang masih lemah, dan (d) adanya saingan dari produk
industri kecil dan menengah yang sama dengan produk yang dihasilkan di
Indonesia yang berasal dari negara lain dan dianggap sebagai ancaman.
Di Jawa Tengah, skala usaha
dikelompokkan atas Usaha Besar, Usaha
Sedang, Usaha Kecil dan Usaha Rumah Tangga. Usaha Besar merupakan usaha yang
mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih, Usaha Sedang memiliki tenaga kerja
antara 20 sampai 99 orang, Usaha Kecil memiliki
tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang, dan Usaha Rumah Tangga adalah usaha dengan
tenaga kerja antara 1 sampai 4 orang (Jawa Tengah dalam Angka, 2007). Sedangkan
mendasarkan Kesepakatan Bersama (KB)
Antara Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraa Rakyat Selaku Ketua Komite
Penanggulangan Kemiskinan dengan Gubernur Bank Indonesia tentang Penanggulangan
Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Dan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil Dan
Menengah No : 15/KEP / MENKO / KESRA/VI/2005
No. 7 / 31 / KEP.GBI / 2005 terdapat ketentuan sbb.:
1. Usaha Kecil adalah Usaha yang memenuhi
kriteria sbb.:
a. Usaha produktif milik Warga Negara
Indonesia yang berbentuk badan usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak
berbentuk hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk kooperasi;
b. Bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik secara langsung maupun
tidak langsung , dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; dan
c. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.
200.000.000,-(dua ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha atau memiliki hasil penjualan maksimum Rp. 1.000.000.000 (satu milyard
rupiah) pertahun
2. Usaha Menengah adalah usaha produktif yang
berskala menengah dan memenuhi kriteria kekayaan bersih lebih besar dari Rp.
200.000.000,- di luar tanah dan bangunan tempat usaha yang memiliki hasil
penjualan maksimum Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh milyard rupiah) pertahun sebagaimana dimaksud dalam
instruksi Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1999 tentang Pemberdayaan
Usaha Menengah.
Berikutnya ada undang-undang baru
tentang UMKM, yang diterbitkan pada tgl.
4 Juli 2008 , yaitu UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008.
Pada Bab IV Pasal 6 KRITERIA berisi sebagai berikut:
1. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut.:
- memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah), tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan
tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,-(tiga ratus
juta rupiah)
1. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai
berikut::
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.
50.000.000,- sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.
2.500.000.000,- ( dua milyard lima ratus juta rupiah)
2. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai
berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.
500.000.000,-(lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.
10.000.000,- (sepuluh milyard rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha ; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari Rp. 2.500.000.000,(dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling
banyak Rp. 50.000.000..000,-(lima puluh milyar rupiah).
Peran
UKM di Jawa Tengah dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan nilai produksi
dan penyerapan investasi cukup berkembang beberapa tahun terakhir ini.
Perbandingan jumlah unit, tenaga kerja yang diserap, jumlah nilai produksi yang diciptakan serta nilai investasi UKM di
Jawa Tengah digambarkan dalam Tabel 1.1. Data yang ada pada tabel tersebut
menunjukkan bahwa jumlah industri kecil dan menengah mendominasi dalam
perekonomian Jawa Tengah. Peran usaha kecil dan menengah (UKM) dalam penyerapan
tenaga kerja masih lebih besar dibanding
industri besar. Penyerapan tenaga kerja di sektor agro industri mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Peran UKM dalam penyerapan
investasi dan penciptaan nilai produksi sejak tahun 2002 sampai sampai 2006
selalu lebih rendah dibanding peran industri besar. Meskipun demikian apabila
dilihat dari segi perkembangannya, sejak tahun 2002 nilai investasi dan nilai
produksi UKM mengalami perkembangan yang cukup berarti. Jika pada tahun 2002
nilai investasi UKM mencapai 6,59 persen dari nilai investasi keseluruhan, maka
tahun 2007 nilai investasi mencapai 9, 82 persen. Nilai produksi tahun 2002
mencapai17,62 persen dari nilai produksi secara keseluruhan, pada tahun 2007
mencapai 23,01 persen. Peran UKM
tersebut disajikan dalam Tabel 1.1.sebagai berikut:
Tabel 1.1
Jumlah Unit, Tenaga Kerja yang Diserap, Jumlah
Nilai Produksi yang Diciptakan serta Nilai Investasi UKM Di Jawa Tengah
(Dalam Persen)
Keterangan
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
1. Unit Usaha
a. agro Industri
-
industri
kecil menengah
-
industri
besar
b. industri
-
industri
kecil menengah
-
industri
besar
2. Tenaga Kerja
a. agro Industri
-
industri
kecil menengah
-
industri
besar
b. industri
-
industri
kecil menengah
-
industri
besar
3. Nilai Produksi
a. agro Industri
-
industri
kecil menengah
-
industri
besar
b. industri
-
industri
kecil menengah
-
industri
besar
4. Nilai Investasi
a. agro Industri
-
industri
kecil menengah
-
industri
besar
b. industri
-
industri
kecil menengah
-
industri
besar
|
99,93
0,07
99,85
0,15
68,38
31,62
93,08
6,92
26,15
73,85
17,62
82,38
13,55
86,45
6,59
93,41
|
99,93
0,07
99,85
0,15
68,24
31,76
92,94
7,06
26,16
73,84
22,92
77,08
13,80
86,20
6,84
93,16
|
99,92
0,08
99,85
0,15
68,81
31,19
93,09
6,91
25,94
74,06
22,71
77,29
13,97
86,03
6,95
93,05
|
99,92
0,08
99,85
0,15
69,18
30,82
92,40
7,60
26,47
73,53
22,78
77,22
13,62
86,38
8,51
91,49
|
99,92
0,08
99,84
0,16
69,25
30,75
92,43
7,57
26,56
73,44
22,87
77,13
13,83
86,17
8,64
91,36
|
99,93
0,07
99,85
0,15
69,47
30,53
92,50
7,50
26,73
73,27
23,01
76,99
14,48
865,52
9,08
90,92
|
Sumber: Diolah dari Jawa Tengah dalam Angka (2008)
Dari tabel 1.1
menunjukkan pada tahun 2007, jumlah unit
usaha kecil dan menengah mencapai 99,93 persen dari total unit usaha agro
industri di Jawa Tengah dan menyerap tenaga kerja yang cukup besar yaitu 69,47
persen, sedangkan pada unit usaha industri, jumlah usaha kecil menengah
mencapai 99,85 persen dengan menyerap
tenaga kerja sebesar 92,50 persen. Ironisnya, dengan jumlah yang sedemikian
besar, usaha kecil menengah hanya mampu menyumbang output 26,73 persen di
sektor agro industri dan 23,01 persen di sektor industri. Sedangkan usaha besar
dengan populasi hanya 0,07 persen disektor agro industri dan 0,15 persen sektor
industri telah menyerap tenaga kerja sebesar 30,53 persen disektor agro
industri dan 7,50 persen disektor industri dari total angkatan kerja yang
tersedia, dan mampu mengahasilkan output sebesar 73,27 persen di sektor argo
industri dan 76,99 persen di sektor industri dari total output. Ketimpangan
proporsi UKM dan Usaha Besar pada data regional Jawa Tengah juga terjadi pada
data nasional.
Selanjutnya hasil penelitian
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah tahun 2002 pada UKM furniture dari kayu di sentra industri
kayu Jepara dan Sukoharjo, diketahui bahwa (a) kerjasama dalam klaster masih
kurang, (b) rendahnya kemampuan inovasi produk dan proses produksi, (c)
kemampuan yang rendah dalam mengakses berbagai sumber informasi. Ketiga
permasalahan tersebut memberi dampak kurang menguntungkan bagi peningkatan
kinerja perusahaan.
Para pengusaha kecil dan
menengah yang ada dalam klaster industri furniture
dari kayu dapat dikatakan memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengakses
informasi dan sangat tergantung dari pengusaha besar. Lemahnya dukungan dari
pemerintah dan ketidakmampuan asosiasi-asosiasi seperti ASMINDO (Asosiasi
Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia), dan Forda (Forum Daerah), yang
menjadi wadah pemersatu para pengusaha dan pengrajin, semakin menjauhkan para
pengusaha dan pengrajin dari berbagai informasi yang seharusnya diketahui
(Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, 2002). Kelemahan
tersebut menyebabkan kekurangmampuan para pengusaha dalam memanfaatkan
peluang-peluang yang ada.
Menurut studi yang dilakukan
oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah tahun 2002, klaster industri furniture kayu belum mendapat dukungan yang konsisten dari industri
pendukung (kayu) maupun jasa pendukung (pemerintah, lembaga keuangan, asosiasi,
lembaga pendidikan dan pengembangan). Meskipun demikian, jalinan kerjasama
diantara pengusaha sudah terbentuk dengan baik terutama dalam pemenuhan bahan
baku dan pemenuhan pesanan pasar.
No comments:
Post a Comment