Dalam
kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara
yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan
obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang
bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan
volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit.
Selama
ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk
melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI
harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat
pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang
memadai untuk dipakai dalam OMOs.
Pada
dasarnya, kebijakan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada
dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan
tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah
likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai
instrumen , khususnya open market
operations (OMOs). Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral
menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam
perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah
obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah.
Dilain
pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank
sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank
sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral
tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.
No comments:
Post a Comment