Fenomena Bisnis


Pada tahun 2008 terjadi krisis di dunia yang umum disebut sebagai krisis global. Kinerja ekspor UKM dan usaha besar mulai semester dua tahun 2008 mengalami penurunan terkait dengan krisis gobal. Krisis global yang berawal dari krisis ekonomi di Amerika Serikat, seterusnya menjalar ke Eropa dan akhirnya ke Asia, membawa dampak yang besar bagi perekonomian dan kestabilan dunia usaha termasuk di Indonesia, karena Amerika Serikat merupakan pasar potensial yang begitu menjanjikan bagi Indonesia. Ekspor terbesar Indonesia ke Amerika Serikat adalah ekspor non migas, dimana sektor industri furniture merupakan komoditas unggulan untuk sektor ini disusul tekstil dan produk tekstil.
Penurunan ekspor ke Amerika Serikat yang terjadi pada bulan September 2008 sangat tajam yaitu sebesar 72,3 persen. Total ekspor Jawa Tengah ke Amerika Serikat pada bulan itu hanya sekitar 194 TEU’S (Twenty – Feet Equivlent Units), dimana bulan sebelumnya sebesar 700 TEU’S sesuai data dari TPKS (Terminal Peti Kemas Semarang ) pada bulan September 2008.
Selanjutnya  kinerja ekspor industri furniture kayu Jawa Tengah dapat dijelaskan menalui pertumbuhan nilai ekspor dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Tabel 1.2 sebagai berikut :
Tahun
Nilai (dalam dollar AS)
Pertumbuhan
2002
441,25
-
2003
525,25
19%
2004
467,61
 11%
2005
664,81
42%
2006
574,04
 14%
2007
618,15
8%
2008
636,69
3%
           Sumber : BI dan ASMINDO Jawa Tengah, 2008 diolah

Sejak tahun 2002 hingga 2008 nilai ekspor industri furniture kayu mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi. Pada tahun 2003 nilai ekspor mengalami peningkatan 19 persen dari tahun 2002, namun kemudian pada tahun 2004 nilainya mengalami penurunan hingga mencapai 11 persen dari tahun sebelumnya. Setelah mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2005, yaitu sebesar 42 persen, pada tahun 2006, nilai ekspor industri ini mengalami penurunan hingga 14 persen di dari tahun sebelumnya. Nilai ekspor industri furniture kayu Jawa tengah meningkat lagi pada tahun 2007 meskipun hanya sebesar 8 persen dari tahun 2006. Pada  th. 2008, nilai ekspor industri furnitur Jawa Tengah hanya mencapai peningkatan 3 persen dari tahun 2007.  Dengan demikian, secara rata-rata, sejak tahun 2002 hingga Mei 2008, nilai ekspor industri furniture kayu mengalami peningkatan sekitar 8 persen pertahun.
Akibat krisis global yang melanda dunia paruh semester kedua tahun 2008, industri furniture dari kayu terkena dampaknya. Seterti diketahui, industri furniture kayu merupakan komoditas unggulan Jawa Tengah dan telah menyumbang sekitar  22 – 24 persen terhadap nilai ekspor non migas nasional. Industri furniture terbesar di Jawa Tengah adalah di Jepara, disusul kemudian Surakarta dan selanjutnya kota-kota lain seperti Semarang, Blora (ASMINDO, 2008).
Jepara merupakan sentra dari industri furniture yang paling merasakan dampak krisis ekonomi paruh pertama semester kedua tahun 2008. Di Jepara terjadi penurunan pesanan, khususnya dari Amerika Serikat sebesar 60 persen. Volume order yang biasanya 30 – 40 container pertahun turun menjadi 12 – 15 container dengan nilai uang sekitar 15.000 – 19.000 dollar sekali kirim. Namun demikian, apabila diprosensentasekan secara makro, penurunan industri furniture tidak begitu signifikan karena hanya menurun sekitar 15 – 20 persen. Mebel masih merupakan komoditas andalan, meski terjadi krisis global. Menurut data dari TPKS (Terminal Peti Kemas Semarang) komoditas unggulan masih berpihak pada industri mebel dengan persentase mencapai 15 %, disusul komoditas kayu olahan 13 %, garmen 7%, benang 7 %, tekstil 5 % dan polyester 3 % (ASMINDO, 2008).
Selain dari krisis global, penurunan nilai eksport untuk industri kecil dan menengah furniture kayu terjadi karena industri ini masih memiliki masalah seperti, (a) adanya kesenjangan kebutuhan dan kemampuan pasokan bahan baku kayu, (b) masih rendahnya tingkat efisiensi dan produktivitas, (c) masih terbatasnya penggunaan bahan baku non hutan alam, (d) masih terbatasnya perusahaan yang memiliki ekolabel, (e) masih lemahnya desain dan finishing product, masih lemahnya jaringan kerjasama (Departemen Perindustrian, 2005).
Klaster industri furniture kayu memiliki mata rantai yang kuat dengan indutri lain, baik industri pendukung seperti bahan baku, bahan penolong kuningan, lem, teak oil, kain jok, kaca, tembaga, busa, kertas packing, dan lain-lain; jasa pendukung seperti transportasi, lembaga keuangan, asuransi, asosiasi, litbang dan pemerintah; maupun industri terkait seperti industri pariwisata, furniture logam dan furniture rotan.  Secara umum, para pengusaha industri furniture dari kayu masih belum mampu menjalin kerjasama secara optimal dengan unit-unit usaha yang menjadi mata rantai perkembangan usaha, seperti kerja sama dengan supplier bahan baku kayu, supplier logam, lembaga keuangan, transportasi, dan lain-lain (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah, 2002).
Kelemahan dalam membangun kerjasama tersebut menunjukkan bahwa para pengusaha masih kurang mampu mengembangkan modal sosial dan pembelajaran organisasional, sehingga perusahaan kesulitan membangun kompetensi inti berbasis hubungan relasional tersebut. Dalam jangka panjang, kelemahan tersebut akan berdampak pada kekurangmampuan UKM dalam meningkatkan kinerja organisasi dan membangun keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Perusahaan dengan modal sosial kecil dan memiliki kekurangmampuan melakukan pembelajaran organisasional yang baik, juga akan memiliki kekurangmampuan dalam mengembangkan inovasi. Perusahaan dengan daya inovasi yang rendah biasanya akan menunjukkan kinerja organisasi yang lebih rendah dibanding perusahaan memiliki daya inovasi yang tinggi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nurul Indarti (2007) menunjukan bahwa ada masalah lain dalam industri furniture di Jawa Tengah, yaitu tingkat inovasi produk dan proses yang sangat rendah. Salah satu penyebab rendahnya kemampuan inovasi adalah ketidakmampuan pengusaha kecil dan menengah untuk menentukan model dan disain produk karena model dan disain produk sudah ditentukan oleh eksportir atau pembeli mancanegara.
Beberapa permasalahan di atas menunjukkan masih kurangnya orientasi entrepreneur dan pembelajaran organisasional pada industri kecil dan menengah furniture kayu di Indonesia pada umumnya dan Jawa Tengah pada khususnya, sehingga kinerja UKM ini masih tergolong rendah. Hasil penelitian empirik Nurul Indarti (2007) telah menunjukkan bahwa tingkat keinovasian industri manufaktur furniture kayu masih rendah. Disamping itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan untuk mengakses informasi masih kurang. Hal ini terutama disebabkan karena hambatan keuangan yang dimiliki masing-masing perusahaan. Peran entrepreneur dalam mengatasi masalah rendahnya keinovasian dan kekurangmampuan mengakses informasi pada industri furniture kayu sangat diperlukan agar usaha ini terus berkembang dan memiliki daya saing kuat terutama di pasar internasional.
Dalam bidang penelitian entrepreneurship, orientasi entrepreneur telah menjadi konstruk yang penting. Proposisi yang mendasari bagi pentingnya orientasi entrepreneur adalah bahwa perusahaan-perusahaan dengan tingkat karakteristik entrepreneur yang lebih tinggi kemungkinannya memiliki tingkat kinerja dan pertumbuhan yang lebih tinggi, karena mampu menghadapi dinamika lingkungan secara lebih sukses (Wolf James dan Timathy L Pett, 2006; Dutta et al, 2005 ). Namun sifat hubungan antara orientasi entrepreneur dengan kinerja masih belum konsisten (Stam et al, 2006; Lee dan Badri, 2007). Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan positip yang signifikan antara orientasi entrepreneur dengan kinerja perusahaan baik pada perusahaan besar maupun UKM seperti Covin dan Slevin ( 1990, 1991, 2006); Wiklund (1998, 1999);  Lee, dan Penning (2001); d Chow (2006); Atuahem-Gima dan Ko (2001); Monev, Yyoshev dan Manolopa (2005). Namun demikian,  beberapa penelitian menunjukkan bahwa orientasi entrepreneur tidak berhubungan dengan kinerja, seperti penelitian Matsumo, Mentzer dan Ozsomer (2002); Sadler-Smit, Hampson, Chaston dan Badger (2003).
Dengan demikian pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara orientasi entrepreneur dengan kinerja masih membutuhkan kerangka pikir kontingensi yang menekankan perlunya menciptakan kesesuaian antara konstuk-konstuk lainnya, seperti lingkungan dan struktur organisasional dalam rangka menghasilkan kinerja yang optimal (Lumpkin & Des, 1996, 2006). Jika Kraus & Frese (2005) mencoba menghubungkan secara langsung konstruk-konstruk dari orientasi entrepreneur dengan kinerja, maka Stam et al (2006) memasukkan unsur jejaring sosial yang memediasi hubungan orientasi entrepreneur dengan kinerja.
Penelitian empirik Stam at al (2006) pada industri software open source Belanda mencoba melibatkan aktivitas-aktivitas jejaring usaha dalam hubungan antara orientasi entrepreneur dengan kinerja perusahaan. Jejaring usaha baik di dalam industri maupun di luar industri diperlakukan sebagai mediasi pengaruh-pengaruh orientasi entrepreneur terhadap kinerja. Pada penelitian berikutnya, Stam at al (2008) memperluas pernelitiannya dengan memasukan modal sosial yang tertanam dalam ikatan-ikatan intra dan ekstra industri dari tim pendiri usaha baru mempengaruhi hubungan orientasi entrepreneur dengan kinerja. Secara luas diartikan sebagai sumberdaya yang diperoleh para pelaku atas ketentramannya dalam jaringan hubungan, modal sosial diketahui mempengaruhi secara langsung dengan memberikan akses ke informasi, modal keuangan, dukungan emosional, legimitasi serta kemampuan bersaing dari para entrepreneur.
Modal sosial yang merupakan hubungan berbasis rasa saling percaya yang melekat dalam jejaring sosial (Baker et al, 2006; Carole, 2007), dalam penelitian Lee et al (2007) pada perusahaan-perusahaan terkemuka di Taiwan juga diperlakukan sebagai moderating hubungan antara orientasi entrepreneur dengan kinerja perusahaan. Para entrepreneur yang menggunakan modal sosial secara lebih besar akan mencapai hasil-hasil yang lebih baik bagi perusahaannya, baik dalam hal inovasi, peningkatan kompetensi, maupun efektivitas organisasional. Karakteristik modal sosial yang terdiri dari pengembangan jejaring kerja dalam dan luar organisasi (Network), pengembangan jejaring sosial (Social Network), pengembangan rasa dipercaya (Trust), penguatan norma-norma kerja dan hubungan antar orang dan antar organisasi (Norms), pengembangan kohesi sosial (Social Cohesion), pengembangan norma resiprositas (Norm of Reciprocity), serta pengembangan dan pemeliharaan kerjasama (Cooperation) dalam tataran praktis dapat dikembangkan dan diperlakukan sebagai sumber daya yang dapat menghasilkan dan meningkatkan kinerja perusahaan (Ferdinand, 2005).
Modal sosial dengan karakteristik tersebut merupakan salah satu jenis modal yang gratis dan tersedia luas sepanjang dapat digali dan dikembangkan, baik yang berbasis internal yang tampak dalam kohesi sosial yang dibangun di dalam perusahaan, maupun yang berbasis eksternal yang tampak dalam bentuk kohesi sosial yang dibangun dengan komunitas pelanggan, pelanggan potensial dan masyarakat luas umumnya. Upaya penggalian dan pengembangan modal sosial secara optimal dapat dilakukan bila manajer atau pengusaha berorientasi entrepreneur yang tercermin dari kuatnya komitmen untuk belajar, berprestasi, otonomi, berkompetisi, berinovasi, menanggung risiko dan berinisiatif.  Umumnya usaha-usaha dengan orientasi entrepreneur  yang kuat akan memiliki kebutuhan dan keinginan yang lebih besar untuk membangun ikatan-ikatan jaringan dengan usaha lain di dalam industri. Ikatan-ikatan ini memberikan informasi dan umpan balik yang terpercaya bagi para entrepreneur yang mungkin mengurangi ketidakpastian yang terkait dengan aktivitas-aktivitas bisnis yang penuh risiko. Selain itu, usaha-usaha dengan orientasi entrepreneur yang kuat juga akan lebih aktif  dalam membangun ikatan-ikatan penghubung ke industri lainnya. Ikatan-ikatan mendukung usaha dengan orientasi entrepreneur yang kuat dalam pengejaran peluang dengan memberi informasi pada entrepreneur mengenai perkembangan-perkembangan baru yang penting. Selanjutnya usaha-usaha dengan orientasi entrepreneur yang kuat akan memerlukan sumber daya jaringan yang berbeda dibandingkan usaha yang lebih konservatif untuk mencapai kinerja yang unggul. Posisi jaringan industri dan ikatan-ikatan penghubung akan meningkatkan kinerja perusahaan (Stam et al, 2006).
Jejaring (Networking) dan inovasi merupakan dua isu penting yang memberikan kemampuan kompetitif pada klaster-klaster industri di dalam proses globalisasi (Eraydin, Ayda  et.al, 2005).  Hasil penelitiannya di klaster-klaster  Turki secara jelas menunjukkan pentingnya networking lokal dan nasional serta hubungan-hubungan global. Hasil penelitian juga menegaskan hubungan positip antara intensitas networking lokal dengan sifat inovatif. Selanjutnya penelitian ini memberi bukti bahwa perusahaan-perusahaan di dalam jejaring-jejaring global memiliki jumlah inovasi yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan-perusahaan dengan intensitas hubungan-hubungan yang lebih tertanam secara lokal.
Hitt dan Irreland (2001) menyatakan bahwa inovasi  merupakan faktor penting bagi organisasi-organisasi untuk bersaing di pasar secara efektif. Organisasi-organisasi harus fokus pada inovasi secara intensif untuk membedakan dirinya dari para pesaing. Untuk hidup dan tumbuh secara kontinyu, organisasi harus berinovasi dalam rangka membentuk ulang keunggulan bersaing mereka. Organisasi yang tidak memiliki kemampuan untuk berinovasi mungkin menginvestasikan waktu dan sumber daya di dalam mempelajari pasar, tanpa kemampuan mempraktekannya (Hurley, Hult, 1999).
Pembelajaran organisasional diperlukan  perusahaan untuk mendapatkan dan mengembangkan informasi, pengetahuan, kapabilitas  yang dimiliki dan selanjutnya akan bermanfaat bagi peningkatan adaptabilitas lingkungan. Besarnya peran orientasi entrepreneur, pembelajaran organisasional,dan inovasi dalam meningkatkan kinerja perusahaan, akan sangat ditentukan oleh kemampuan entrepreneur dalam membangun modal sosial dan beradaptasi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penelitian disertasi ini memperlihatkan permasalahan pengembangan orientasi entrepreneur dan pengembangan modal sosial yang menyesuaikan dengan perubahan lingkungan, akan mendorong pembelajaran organisasi, inovasi yang akan meningkatkan kinerja perusahaan.
Uraian berikut ini akan menjelaskan beberapa research gap yang berkaitan dengan orientasi entrepreneur dan konstruk-konstruknya innovativeness, proactiveness, risk taking dengan kinerja, peranan modal sosial dan konstruknya jejaring dan kepercayaan serta fenomena bisnis UKM furniture kayu di Jawa Tengah yang telah diuraikan sebelumnya, mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut.

No comments:

Post a Comment