Indonesia dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik yang berada di darat maupun di laut. Sumber alam hutan Indonesia, merupakan salah satu hutan tropika yang terluas di dunia, yang diharapkan dapat terus berperan sebagai paru-paru dunia yang mampu meredam perubahan iklim global. Indonesia juga merupakan bagian dari kawasan Indo-Pasifik yang merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia. Berdasarkan letak geografis dan keanekaragaman hayati tadi maka Indonesia dijuluki sebagai megadiversitas yang masuk dalam katagori tertinggi di dunia.
Menurut Sastrapradja dkk (1989) Flora Malesia sangat kaya dan ditaksir terdiri atas 1.500 paku-pakuan serta 28.000 jenis tumbuhan berbunga (fanerogam), yang sebagian besar terdapat di Indonesia. Kekayaan flora Indonesia yang besar antara lain merupakan akibat dari struktur vegetasi yang kompleks.
Posisi Indonesia selaku gudang sumber daya jenis yang penting terbukti dari kesepakatan para pakar yang mengakui kawasan ini sebagai salah satu bagian pusat keanekaragaman dunia. Kenyataan ini memang dapat disimpulkan dari besarnya jumlah jenis mahkluk yang dimiliki. Selanjutnya perlu diketahui bahwa memang banyak suku tumbuhan yang memilih kawasan Indonesia sebagai titik pusat konsentrasi keterdapatan dan persebarannya (Sastrapradja dkk, 1989).
Berkaitan dengan kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia tadi dan kemudian dipadukan dengan kebhinekaan suku-suku bangsa yang mendiami kepulauan nusantara ini, maka akan terungkap tumbuhnya berbagai sistem pengetahuan tentang lingkungan alam. Pengetahuan ini akan berbeda dari kelompok satu ke kelompok lainnya, karena sangat tergantung pada tipe ekosistem mereka tinggal, dan tentu saja amat dipengaruhi oleh adat, tatacara, perilaku, pola hidup kelompoknya atau singkatnya pada tingkat kebudayaan suku-suku bangsa itu (Waluyo, 1993). Karena peran manusia atau kelompok etnis ini dengan segala tata cara kehidupannya sangat menentukan nasib lingkungan, maka perlu ditelaah bagaimana konsep dan pemahaman serta penguasaan pengetahuannya dalam mengolah sumberdaya hayati tadi. Sehingga pada akhir-akhir ini banyak ilmuwan yang mulai tertarik untuk mengkaji pengetahuan pribumi (indigenous knowledge) dan pemahaman alam sekitar oleh masyarakat setempat.
Edibilitas atau ketermakanan merupakan pertanyaan pertama sekaligus awal pemanfaatan tumbuhan oleh manusia sejak terbitnya fajar peradabannya (Rifai, 1994). Pemanfaatan lainnya lalu berkembang meliputi segala maksud dan keperluan, terutama yang berkenaan dengan makna budaya, jadi tak hanya sekedar nilai ekonominya saja (Rifai, 1998).
Jika kita memanfaatkan sesuatu berarti kita mengambil manfaat atau kegunaan dari sesuatu tersebut. Sehubungan dengan keanekaragaman hayati maka memanfaatkan, mempelajari dan menyelamatkannya merupakan upaya-upaya dalam strategi konservasi (Wilson, 1995). Upaya-upaya ini juga tergambar dalam budaya dan pengetahuan asli lokal, seperti masyarakat dayak Kenyah di Kalimantan Timur. Unsur kearifan lokal ini walaupun tradisional adalah salah satu kekayaan bangsa yang sangat tak ternilai harganya, karena merupakan sumber bagi pengembangan ide-ide alternatif di masa kini (Adimihardja, 1996) dan menjadi landasan kuat bagi teknologi mutakhir (Rifai & Walujo, 1992).
Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua bangsa Indonesia yang dimulai tahun 1994, sumber daya alam terbaharukan yang berupa tumbuhan, hewan dan mikroba, akan memainkan peran yang lebih besar dibanding kurun waktu sebelumnya. Jika kemudian dipadukan dengan potensi sumberdaya hayati serta keanekaragaman suku bangsanya maka akan sangat menguntungkan. Dengan demikian bahwa mengungkap potensi sumberdaya hayati yang didasarkan pada pengetahuan masyarakat secara lokal, diharapkan dapat dikembangkan oleh para akademisi dan ilmuwan sebagai dasar berpijak dalam memberi nilai tambah terhadap sumberdaya tadi.
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah jenis tanaman pangan yang sudah dibudidayakan secara besar-besaran tidak begitu banyak. Akan tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia ternyata banyak sekali menggunakan jenis-jenis tumbuhan lain untuk keperluan pencukupan pangannya. Tidak kurang dari 400 jenis tanaman penghasil buah, 370 jenis tanaman penghasil sayuran, sekitar 70 jenis tanaman berumbi, 60 jenis tanaman penyegar dan 55 jenis tanaman rempah-rempah yang secara teratur dimanfaatkan oleh masyarakat, terutama yang tinggal di pedesaan. Pengembangan tanaman ini boleh dikata tak pernah dilakukan orang, sehingga kultivar yang ditanam merupakan ras pribumi yang primitif. Bahkan ada diantaranya yang langsung diambil dari alam. Seperti dapat diduga kebanyakan jenis tanaman ini belum pernah dijadikan objek penelitian (Sastrapradja dkk, 1989).
Suku dayak merupakan penduduk asli yang menghuni pulau Kalimantan. Secara harfiah ‘dayak’ berarti orang pedalaman dan merupakan istilah kolektif untuk bermacam-macam golongan suku, yang berbeda dalam bahasa, bentuk kesenian, dan banyak unsur budaya serta organisasi sosial. Mereka terutama merupakan peladang berpindah padi huma, yang menghuni tepi-tepi sungai di Kalimantan. Mereka kebanyakan dalam masyarakat rumah panjang, dan tunduk pada hukum adat (Mackinon et al, 2000).
Suku Kayan-Kenyah yang berada di pedalaman Kalimantan Timur dan Serawak, sepanjang bagian hulu sungai Kayan, sungai Mahakam, sungai Rajang dan sungai Baram. Suku Kayan ditemukan tersebar luas di pulau Kalimantan; segolongan kecil suku Kayan tinggal di sepanjang sungai Mendalam yang merupakan anak sungai Kapuas hulu di Kalimantan Barat. Suku Kenyah terdiri atas beberapa anak golongan yang berbeda bahasa dan budayanya. Suku Kayan dan Kenyah mempunyai keterkaitan sosial, ekonomi dan politik, yang sudah berlangsung lama. Diantara mereka terjadi perkawinan antar golongan yang cukup banyak. Suku Modang di daerah aliran sungai Mahakam mungkin merupakan cabang rumpun Kayan dan Kenyah (Mackinon et al, 2000).
Survei yang komprehensif mengenai berbagai jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kalimantan (umumnya) dan Kalimantan Timur (khususnya) belum pernah dilakukan (Mackinon et al, 2000). Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang pesat di Kalimantan Timur selama dua puluh tahun terakhir ini di ikuti oleh peningkatan laju eksploitasi hutan dan peningkatan luas pembukaan daerah hutan. Kayu dan rotan merupakan dua hasil hutan yang sangat tinggi nilainya. Produk lain yang juga terdapat di hutan mencakup buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan, rempah-rempah, bahan wewangian, minyak biji, makanan ternak, bahan anti mikroba, bahan farmasi lainnya, zat pewarna makanan, bahan pengawet dan penyedap makanan, bahan pewarna, perekat, damar, getah pohon, lilin dan lak.
Untuk mengungkapkan potensi buah-buahan dan sayur-sayuran yang terdapat di hutan dan dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sangat dibutuhkan survei, penelitian dan dokumentasi didaerah Kalimantan Timur ini agar upaya pelestarian kekayaan buah dan sayuran Indonesia (keanekaragaman genetik dan pengetahuan tentang budidaya serta kegunaannya) dapat mendorong perkembangan dan pemasaran buah-buahan dan sayuran lokal atau asli yang mampu bersaing secara ekonomi. Karena kebanyakan produk ini sangat tinggi nilai ekonominya, pemanfaatannya dapat menjamin kelangsungan kebutuhan pokok masyarakat setempat selain juga sebagai komoditi perdagangan dan pengembangan komersial.
Berbagai produk aktual maupun potensial yang dapat dihasilkan hutan Kalimantan Timur dapat membantu menjelaskan arti penting akses masyarakat pedesaan terhadap hutan tempat mereka mengambil berbgai produk tersebut. Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal di Kalimantan Timur.
Lihat Juga Artikel dengan cara meng KLIK di bawah ini :
http://globalsearch1.blogspot.com/
http://ayuarifahharianja.blogspot.com/
http://dinulislami.blogspot.com/
Lihat Juga Artikel dengan cara meng KLIK di bawah ini :
http://globalsearch1.blogspot.com/
http://ayuarifahharianja.blogspot.com/
http://dinulislami.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment