Objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara, akan membatasi siapa pihak yang dapat menjadi pemohon dan termohon didepan persidangan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan lembaga negara yang dapat menjadi objek sengketa hanyalah menyangkut kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga negara tertentu.
Oleh karenanya tidaklah tiap lembaga negara, yang memenuhi kriteria sebagai organ, badan atau lembaga negara yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yang bersengketa dengan lembaga negara lain dapat dengan sendirinya menjadi pihak dalam sengketa kewenangan dimaksud. Jikalau kita meneliti UUD 1945 setelah perubahan, dapat dinventarisasi 28 lembaga negara yang disebut secara eksplisit maupun secara tidak langsung disebut tetetapi kemudian diperintahkan akan diatur dalam undang-undang. Menurut Jimly Asshidiqie, ada 28 lembaga negara, organ atau jabatan yang disebut dalam UUD 1945 tetapi kewenangannya dirujuk akan diatur lebih lanjut, atau lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD 1945 maupun yang sekedar disebut saja,yaitu :
- Majelis Permusyawaratan Rakyat.(MPR).
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
- Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
- Presiden.
- Wakil Presiden.
- Dewan Pertimbangan Presiden.
- Kementerian Negara.
- Duta.
- Konsul.
- Pemerintahan Daerah Propinsi, yang mencakup
- Jabatan Gubernur.
- DPRD Propinsi
- Pemerintahan Daerah Kabupaten, yang mencakup
- Jabatan Bupati
- DPRD Kabupaten
- Pemerintahan Daerah Kota, yang mencakup
- Jabatan Walikota
- DPRD Kota.
- Komisi Pemilihan Umum)KPU), yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
- Bank Sentral, yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
- Mahkamah Agung (MA)
- Mahkamah Konstitusi (MK).
- Komisi Yudisial.(KY)
- Tentara Nasional Indonesia(TNI).
- Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Pemerintah Daerah Khusus atau istimewa.
- Kesatuan Masyarakat hukum adat
Meskipun disebut dan diatur dalam UUD 1945, lembaga negara yang memiliki legal standing untuk dapat menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan MK, haruslah secara eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut mendapat kewenangannya tersebut dari UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor /PUU-IV/2006, yang kemudian diadopsi sebagai syarat legal standing dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ditetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut yaitu :
- Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain.
- Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
- Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.
Syarat angka 3 diatas, dapat ditafsirkan sebagai adanya hubungan kausal kerugian yang dialami kewenangannya dengan kewenangan yang dilaksanakan oleh lembaga lain. Dengan kriteria yang demikian maka subjek lembaga negara yang disebut diatas yang memiliki legal standing untuk dapat menjadi Pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara didepan Mahkamah Konstitusi, menjadi semakin sempit dan berkurang.Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/ 2006 tersebut, yang menentukan :
(1) Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
d. Presiden
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .
f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Penyebutan huruf g yang kembali seperti mengulang kalimat dalam pasal 24 C ayat (1) tentang kualifikasi lembaga negara yang memiliki legal standing untuk menjadi pihak dalam sengketa kewenangan tersebut, yang justru ingin diatur dan diperjelas, dengan aturan dalam huruf g tersebut persoalannya menjadi terbuka kembali. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pendapat atau tafsiran atas penyebutan lembaga negara tertentu dalam UUD 1945 yang sebagian menganggap kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD 1945, sebagian lagi menganggapnya tidak. Oleh karena nya hal demikian akan diputus kelak secara definitif dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan tetap dan mengikat, yang akan menjadi jurisprudensi yang kemudian akan menjadi rujukan.
Hal ini dapat dilihat dari rumusan Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah, dimana pasal 18 menentukan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabipaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,yang diberi wewenang untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintahan daerah, yang terdiri dari kepala daerah dan DPRD menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat, dan dalam rangka melaksanakan otonomi Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya. Dalam satu kasus yang terjadi di Pemerintahan Daerah Bekasi, seorang Bupati telah diberhentikan sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2004, atas dasar putusan MA yang menyatakan bahwa prosedur pemilihannya mengalami cacat hukum dan karenanya pengangkatannya kemudian dibatalkan Presiden. Bupati yang diberhentikan tersebut kemudian mengajukan perkara permohonan sengketa kewenangan terhadap (i) Presiden, (ii) Mendagri dan (iii) DPRD Kabupaten Bekasi, dengan alasan bahwa pemberhentian yang dilakukan berdasar wewenang Presiden, telah merugikan kewenanganya sebagai Bupati, karena sesungguhnya putusan Mahkamah Agung yang dijadikan dasar pemberhentian inkonstitusional, karena cacat dalam persyaratan untuk pilkada bukan merupakan sengketa tatausaha negara yang menjadi wewenang Pengadilan TUN, dan karenanya juga Presiden tidak boleh menghentikannya yang wewenangnya dirugikan dengan demikian. DPRD juga telahmerugikan kewenangan konstitusionalnya, karena DPRD tidak berwenang mengesahkan Peraturan Daerah yang diusulkan Pejabat atau Pelaksana Bupati, yang menjadi wewenang Bupati yang dipilih secara demokratis, sedangkan Pelaksana Bupati tidak dipilih melainkan ditunjuk.
Dalam perkara tersebut berdasarkan kasus posisi yang terjadi, kami berpendapat bahwa DPRD sebagai lembaga negara memperoleh wewenangnya secara langsung dari UUD 1945 sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah, yang turut serta dalam pembentukan dan Pengesahan Peraturan Daerah. Meskipun tatacara tentang wewenang DPRD diatur dalam undang-undang, hemat kami wewenang DPRD tersebut berasal dari dan diberikan oleh UUD 1945, dalam rangka otonomi yang seluas-luasnya. Jika sekiranya dianut pendapat bahwa DPRD, yang juga dikategorikan sebagai lembaga negara tingkat daerah tidak memiliki legal standing mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara demikian didepan MK, tidak pula tepat sengketa demikian diajukan didepan PTUN sebagai sengketa TataUsaha Negara, karena masalah yang dipersoalkan adalah masalah hukum tatanegara, yang menjadi kompetensi Peradilan TataNegara. Meskipun dari sudut kriteria objek sengketa TUN boleh jadi Peraturan Daerah memiliki nuansa keputusan TUN dari pejabat TUN yaitu pelaksana tugas Bupati yang dapat dipersengketakan didepan Pengadilan TUN, akan tetapi Peraturan Daerah adalah merupakan algemene regeling yang mengikat secara umum, dan bukan merupakan beschikking, yang bersifat individual,final dan kongkrit. Mayoritas Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain tentang status lembaga negara Bupati/KDH dan DPRD tersebut sebagaimana tampak dalam pertimbangan perkara No. 04/SKLN-IV/2006 sebagai berikut ini :
”...objektum litis antara Pemohon dan Termohon III adalah kewenangan pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pemerintahan daerah adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh pasal 24C UUD 1945 karena diberikan kewenangan oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2)serta pasal 18B ayat (1) UUD 1945.Pemohon yang mendalilkan dalam kapasitasnya sebagai lembaga negara untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 adalah Bupati Bekasi. Dalam hubungannya dengan kapasitas yang didalilkan yaitu, UUD 1945 mengatur dalam pasal 18 ayat (4) bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis. Selain ketentuan tersebut, pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih secara melalui pemilihan umum. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas yang telah jelas disebut kewenangannya adalah Pemerintahan Daerah yang kewenangan tersebut diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
Meskipun pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota adalah kepala pemerintah daerah, namun pasal ini tidak menyebutkan apa yang menjadi kewenangan kepala pemerintah daerah dan hal ini adalah wajar karena ruang lingkup kewenangan tersebut baru dapat ditetapkan apabila perintah pasal 18,Pasal 18A ayat (4)dan pasal 18B UUD 1945dilaksanakan yaitu ditetapkan dalam undang-undang.Kewenangan kepala daerah sangatlah berkaitan dengan kewenangan pemerintahan daerah, karena kepala daerah adalah kepala pemerintah daerah, tentunya sangat tidak tepat apabila kewenangan kepala daerah tidak dalam rangka melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah. Keseluruhan kewenangan tersebut diatur dalam undang-undang yang melaksanakan pasal 18, Pasal 18A dan pasal 18B UUD 1945. Pasal 18 ayat (6) adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar kepada pemerintahan daerah dan sekaligus juga perintah kepada pembuat undang-undang agar kewenangan tersebut tidak diabaikan dalam melaksanakan ketentuan pasal 18, pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945.Dalam hubungannya dengan pembuatan peraturan daerah, kewenangan kepala pemerintah daerah ditentukan dan diatur oleh undang-undang.
Sedangkan yang dilarang oleh undang-undang dasar apabila kewenangan membuat peraturan daerah sama sekali ditiadakan. Pelaksanaan kewenangan tersebut tentunya akan disesuaikan dengan pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan yang diatur oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat mengatur secara berbeda tata cara pembuatan peraturan daerah yang berlaku untuk daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan bahkan daerah yang termasuk satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18B UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa Bupati adalah organ pemerintahan yang juga lembaga negara dalam proses pembuatan peraturan daerah yang diatur dalam UU nomor 32 tahun 2004. Kewenangan Bupati tersebut diberikan oleh undang-undang, dan didalam undang-undang tersebut tidak terdapat kewenangan implisit atau kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang diberikan undang-undang dasar.Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa sengketa yang terjadi...bukanlah sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 sehingga permohonan pemohon tidak beralasan”.
Mahkamah Konstitusi dalam kasus Bupati Bekasi perkara No.04/SKLN-IV/2006 tersebut memutus tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) sehingga belum mengikat sepanjang mengenai substansinya. Akan tetapi putusan MK tersebut telah menentukan lembaga negara Bupati dan DPRD tidaklah memperoleh kewenangannya dalam menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya, termasuk wewenang untuk membentuk peraturan daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Wewenang tersebut berasal dari undang-undang. Oleh karena MK baru memutus mana lembaga negara yang boleh bersengketa didepan MK, ada kemungkinan dimasa depan akan terjadi kasus yang hampir sama dimana MK akan sampai pada materi atau substansi sengketanya, yang akan diputus dengan kekuatan hukum yang mengikat. Harus diakui definisi Hukum Tata Negara yang luas yang mencakup Hukum Tata Usaha Negara, telah menyebabkan timbulnya titik singgung diantara Pengadilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah MA dengan Pengadilan TataNegara yang diemban MK, dalam menangani kasus semacam itu, yang boleh jadi dapat menimbulkan komplikasi yang akhirnya tidak pas.
Tetapi dengan berpedoman pada Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi, dengan mana peraturan maupun perbuatan semua organ negara harus dapat diuji dengan UUD, yang merupakan dasar untuk menegaskan bahwa kata akhir dalam hal demikian akan menjadi jurisdiksi Mahkamah Konstitusi. Secara diametral kami memiliki pendirian yang berbeda, melalui pendekatan yang tidak semata-mata satu segi, yakni dari segi sumber kewenangan lembaga negara yang tekstual. Pendirian kami tercantum dalam dissenting opinion kami yang dikutip berikut ini :
Dalam perkara ini Bupati/Wakil Bupati Bekasi yang dipilih dan ditetapkan sebagai Bupati terpilih pada tahun 2003 oleh DPRD Kabupaten Bekasi, dan disahkan dengan Keputusan Mendagri sebagai Bupati/Wakil Bupati Bekasi serta diambil sumpahnya pada tanggal 8 Januari 2004, telah diberhentikan oleh Mendagri dengan surat keputusan tertanggal 4 Januari 2006, persis 2 (dua) tahun setelah menjalankan tugasnya. SK Mendagri tersebut dikeluarkan sebagai lanjutan dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 436 K/TUN/2004 yang menyatakan batal SK Mendagri tentang pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati terdahulu dan memerintahkan Mendagri mencabut surat keputusan tersebut. Sebagai akibatnya kemudian dalam SK Mendagri tentang pembatalan SK pengangkatan terdahulu, Bupati dan wakil Bupati diberhentikan. Berbeda dengan mayoritas hakim MK, kami berpendapat ini merupakan kewenangan MK yang harus diputus MK.
No comments:
Post a Comment