Satu perselisihan atau sengketa kewenangan lembaga negara yang telah diajukan kehadapan Mahkamah Konstitusi dapat memperoleh penyelesaian dengan beberapa cara. Penyelesaian itu dapat terjadi bersifat sementara atau dapat bersifat permanen dengan satu putusan yang bersifat final dan mengikat dengan dicapainya satu putusan akhir oleh Mahkamah Konstitusi. Satu penyelesaian yang bersifat sementara, terjadi misalnya, karena sebelum proses persidangan dimulai atau selama proses persidangan berlangsung tetapi belum mencapai keputusan, Pemohon menarik permohonannya. Sangat menarik misalnya untuk memperhatikan, karena budaya atau kultur birokrasi dan pemerintahan yang belum terbiasa untuk menggunakan mekanisme hukum dan peradilan bagi penyelesaian perbedaan pendapat dan sengketa kewenangan antara lembaga negara, maka pengaruh pimpinan Negara dan Pemerintahan berpengaruh besar dalam menentukan diteruskan tidaknya penyelesaian sengketa melalui mekanisme hukum dan peradilan tersebut.
Dalam hal penarikan sebelum persidangan dilakukan maka Ketua Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan Ketetapan tentang penarikan tersebut. Sedang apabila penarikan permohonan dilakukan pada saat proses sedang berjalan, maka setelah mendengar pendapat pemohon, maka Mahkamah mengeluarkan Ketetapan yang mengabulkan penarikan permohonan tersebut, dan mencatat penarikan permohonan tersebut dalam buku register perkara. Dapat terjadi bahwa setelah penarikan permohonan, termohon tidak menyetujui, dan meminta sengketa diakhiri dengan satu putusan yang akan dijadikan pedoman dalam melaksanakan kewenangan tersebut secara tegas dan jelas.
Dalam hal penarikan dikabulkan, maka timbul satu akibat hukum bahwa permohonan yang sama yang menyangkut sengketa kewenangan tersebut tidak dapat lagi diajukan kehadapan MK untuk diputus. Tetapi hal itu hanya merupakan satu prinsip umum. Dalam keadaan tertentu yang penting, sebagai pengecualian, permohonan demikian dapat diajukan kembali karena alasan, (i) substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional,(ii) tidak terdapat forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud; dan (iii) adanya kepentingan hukum yang memerlukan kepastian hukum.
Ketiga alasan ini sebagai dasar untuk meperbolehkan permohonan yang sudah ditarik dapat diajukan kembali, lahir berdasar pengalaman ketika kultur penyelesaian perbedaan pendapat ditingkat lembaga negara diluar jalur hukum dan peradilan tidak membawa kepastian hukum menjurus pada kemacetan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kewenangan MK untuk mengatur ini didasarkan pada delegasi wewenang yang ditetapkan dalam pasal 86 undang-undang nomor 24 tahun 2003 yang berbunyi :”Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut undang-undang ini”. Dalam penjelasan pasal 86 tersebut disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasarkan undang-undang MK.Secara universal kewenangan rule making power khususnya untuk melengkapi hukum acara yang kurang, dimiliki oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung Indonesia juga diberi kewenangan rule making power demikian dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung.
Sengketa kewenangan antara Gubernur Lampung dengan DPRD, Perkara nomor 25 /SKLN-III/2005 ditarik dengan alasan bahwa suasana sudah kondusif. Alasan yang kabur demikian ketika diklarifikasi tampak ada permintaan dari pimpinan pusat Pemerintahan untuk menariknya. Tetapi dalam kenyataanya perselisihan dan sengketa tidak pernah diselesaikan secara tuntas.
No comments:
Post a Comment