Kewenangan dan Sengketa Negara

Kewenangan yang disebut sebagai authority, diartikan sebagai hak untuk bertindak dan mengeluarkan perintah dengan kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat umum atau lembaga negara untuk meminta kepatuhan orang atau organ negara pada perintah yang dikeluarkan secara sah dalam ruang lingkup tugas publiknya (public duties). Kewenangan itu dikatakan merupakan wujud nyata dari kekuasaan, sebagai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku semua adressatnya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Oleh karenannya juga benar bahwa kewenangan merupakan wujud nyata dari kekuasaan. Dengan mengacu pada sumber kekuasaan negara yang berkaitan dengan ajaran kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945, maka sumber kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga negara di Indonesia adalah derivat dari kesadaran kolektif bangsa mengenai Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam faham kedaulatan hukum, sekaligus faham kedaulatan rakyat.

Mengacu kepada pembedaan lembaga negara sebagai organ konstitusi yang memperoleh wewenangnya dari UUD 1945 dan yang bukan, sangat penting untuk diingat bahwa sumber kewenangan tersebut merupakan tolok-ukur atau ukuran untuk menentukan corak lembaga negara yang bersengketa menyangkut kewenangannya. Tetapi apakah dengan ukuran yang jelas demikian dapat kita mengatakan bahwa satu lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD, tidak mungkin bersengketa dengan lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari undang-undang, dan kalau hal demikian menjadi kenyataan maka hal demikian diluar jurisdiksi MK? Secara pasti hal tersebut belum dapat dikatakan, karena satu lembaga negara yang ditentukan dalam UUD 1945 dengan kewenangan pokok disebut dalam konstitusi, tetapi diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Apakah hal pengaturan demikian dalam undang-undang menyebabkan sumber kewenangan secara langsung lembaga negara tersebut dari undang-undang atau dari UUD, masih merupakan perdebatan yang akan memperoleh kepastian dalam kasus-kasus yang dihadapi dan memeroleh putusan yang final dari MK. Oleh karena belum jelasnya hal ini, Mukhtie Fajar berpendapat bahwa hal tersebut bisa mengundang beberapa penafsiran, yaitu : 
  1. penafsiran luas, sehingga mencakupsemua lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut/tercantum dalam UUD 1945; 
  2. penafsiran moderat, yakni yang hanya membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi dan tinggi negara; 
  3. penafsiran sempit, yakni penafsiran yang merujuk secara implisit dari ketentuan pasal 67 UU MK;

Akan tetapi dari bunyi pasal 67 UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi ”Putusan Mahkamah konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden”. Hemat saya dengan penafsiran sempit sekalipun, belum menjadi jelas betul apakah dengan demikian BPK dan Komisi Yudisial tidak termasuk didalamnya. Mahkamah Agung dalam landasan berfikir yang keliru juga tidak tepat bila dikeluarkan dari daftar lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945, yang boleh bersengketa, karena dari kasus yang pernah timbul dan diputus MK, kasus antara MA dan KY secara riil sesungguhnya yang dipermasalahkan adalah sengketa kewenangan menurut pasal 24C ayat (1) UUD 1945, meskipun dikemas dalam bentuk pengujian undang-undang tentang pembentukan Komisi Judisial.

Timbul pertanyaan, mengapa dapat terjadi sengketa kewenangan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain? Satu wewenang yang dilimpahkan pada lembaga negara selalu mempunyai kaitan dengan hukum, yang dapat berwujud Undang-Undang Dasar, Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah tugas, fungsi dan wewenang sering dipakai secara interchangeable atau saling dipertukarkan, sehigga kadang-kadang menjadi tidak jelas artinya. Harjono mengemukakan bahwa fungsi mempunyai makna yang lebih luas daripada tugas. Tugas katanya, lebih tepat digunakan untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi terlaksana. Fungsi memerlukan banyak aktivitas agar fungsi dapat terlaksana. Gabungan dari tugas-tugas adalah operasionalisasi dari sebuah fungsi yang sifatnya kedalam. Tugas selain mempunyai aspek kedalam juga memiliki aspek keluar. Aspek keluar dari tugas adalah wewenang. 

Dalam praktek kata tugas tidak dapat dipisahkan dari wewenang, sehingga oleh karenanya sering digunakan secara bersama-sama yaitu tugas dan wewenang. Dikatakan lebih jauh bahwa dengan dinyatakannya satu lembaga mempunyai wewenang, timbullah akibat yang sifatnya kategorial dan ekslusif. Kategorial dikatakan sebagai unsur yang membedakan antara lembaga yang mempunyai wewenang dengan yang tidak mempunyai wewenang, sedangkan eksklusif diartikan bahwa lembaga-lembaga yang tidak disebut merupakan lembaga yang tidak berwenang.Perbedaan tafsir atas kewenangan yang diberikan dalam aturan perundang-undangan oleh lembaga negara yang berbeda demikian dapat melahirkan sengketa kewenangan yang merupakan perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua lembaga negara atau lebih.

Dalam laporan penelitian KRHN dikatakan terdapat empat karakeristik utama sebuah kewenangan yang berbasis peraturan, yaitu: 
  1. Hak untuk membuat keputusan-keputusan yang berkekuatan hukum. Hal ini sangat berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan yang dikeluarkan sebagai bagian dari pelaksanaan kewenangannya.Potensi sengketa kewenangan lembaga negara sangat mungkin lahir dari produk hukum yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga negara yang kemudian mengikat kepada lembaga negara lain. 
  2. Perbedaan pelegitimasian antara kekuasaan dengan kewenangan. Hal tersebut berkaitan dengan beberapa lembaga negara yang secara legitimatif kekuasaannya diberikan dalam landasan hukum yang berbeda dengan landasam hukum kewenangannya. Hal itu menibulkan perbedaan tafsiran antara kekuasaan, fungsi, tugas, wewenang dan kewajiban maupun penjabaran terhadap unsur-unsur tersebut. Akibatnya sering suatu lembaga negara merasa lebih memiliki kekuasaan ataupun kewenangan terhadap satu hal daripada lembaga negara lain. 
  3. Aturan hirarkis yang jelas, seperti lex specialis derogat legi generalis, lex superiori derogat legi inferiori,diperlukan dalam menjamin kepastian hukum, dapat membingungkan ketika beberapa jenis peraturan sudah tercabut dengan azas tersebut. 
  4. Kewenangan yang terbagi. Beberapa kewenangan dimiliki lembaga negara secara bersamaan dengan lembaga negara lain. Kerancuan timbul ketika wilayah kewenangan mulai ditafsirkan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain. 
Karena prinsip checks and balances tersebut diantara lembaga-lembaga negara yang setara setelah amandemen UUD 1945, yang tidak lagi mengenal lembaga tertinggi yaitu MPR, maka diperlukan adanya satu lembaga untuk menafsir kewenangan konstitusional lembaga-lembaga negara tersebut untuk memberi penyelesaian pada sengketa yang timbul.


No comments:

Post a Comment