Faktor yang berpengaruh pada status gizi dan kesehatan

Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi penduduk, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kerangka konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji faktor penyebab masalah gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya dari data Kor Susenas 1995, 2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten, dan juga data HKI. 

Faktor yang berpengaruh pada status gizi dan kesehatan

Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah (kualitas dan kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota keluarga. Indonesia belum pernah secara nasional melakukan survei konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah yang dimakan untuk setiap individu. 

Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei konsumsi tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah tangga terhadap energi dan protein. Dari kajian survei konsumsi ini, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi berturut-turut dari tahun 1995-1998 adalah: 1999; 1969; 2051; dan 1990 Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1 gram/kap/hari. Rata-rata konsumsi energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji juga persen rumah tangga yang defisit energi mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun 1995-1998, persentasi rumah tangga dengan defisit energi bekisar antara 45 – 52% ; dan rumah tangga defisit protein berkisar antara 25 – 35% (Latief, et.al, 2000). 

Berdasarkan kor Susenas, informasi ketahanan pangan tingkat rumah tangga hanya dapat diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari kajian kor Susenas 1995, 2000, dan 2003 dilakukan perhitungan rasio pengeluaran untuk setiap item bahan makanan terhadap total pengeluaran pangan. Terlihat perubahan rasio pengeluaran pangan sumber energi dari 32,64% tahun 1995 menjadi 24,2% tahun 2003. Pengeluaran konsumsi makanan jadi meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7% tahun 2003, demikian juga terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi lainnya, terutama ikan, daging, dan buah-buahan. Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa, analisis Kor Susenas 2003 menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di Kota lebih baik dibanding Desa, dan rumah tangga di Kota lebih banyak mengeluarkan uang untuk makanan jadi dibanding rumah tangga di Desa. (Lihat figure 15) 

Walaupun terlihat ada perbaikan pola pengeluaran makanan tingkat rumah tangga pada tahun 2003, akan tetapi jika dilihat dari rasio pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total, masih sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih belum cukup baik. Pengeluaran terbesar rumah tangga masih pada makanan. Pada Figure 16 berikut, mengklasikasikan kabupaten berdasarkan 4 tingkat % pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total: 1) <55%; 2) 55-65%; 3) 65-75%; dan 4) >75%. Terlihat ada perbaikan dari tahun 2000 ke tahun 2003, akan tetapi kondisinya hampir sama dengan tahun 1995. Pada tahun 2003, terlihat sekali perbedaan antara Kota dan Desa. 

Untuk diketahui juga, selain ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, maka keamanan pangan yang dikonsumsi setiap individu juga sangat berperan untuk kesehatan dan gizi. Terutama pada rumah tangga di perkotaan dimana konsumsi makanan jadi yang semakin meningkat. Masalah keamanan pangan tidak dibahas pada analisis ini karena ketersdiaan data yang kurang. 

Morbiditas 
Informasi prevalensi menurut jenis penyakit, terutama yang berkaitan dengan masalah gizi, tidak diketahui secara lengkap. Pada Figure 17 dapat dilihat kecenderungan pola penyakit yang menyebabkan kematian tahun 1995 dan 2001. Terlihat penyakit infeksi masih dominan, diikuti dengan penyakit sirkulasi dan pernafasan. Penyebab kematian yang ditunjukkan dengan penyakit sirkulasi memperlihatkan meningkatnya penyakit degeneratif baik pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan pada perempuan, kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi ini meningkat cukup tinggi, dari 123 ke 191 per 100.000 penduduk. Terlihat juga kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan neoplasma cenderung meningkat dari tahun 1995-2001. 

SKRT 1980, 1986, 1992, 1995 dan 2001 juga mencatat proporsi kematian karena ‘Non-communicable diseases/NCD’ meningkat dari 25.41% (1980) menjadi 48.53% (2001). Proporsi kematian karena ‘Cardiovscular diseases/CVD’ meningkat dari 9.1% tahun 1986 menjadi 26.3% tahun 2001; ‘Ischaemic heart disease’ dari 2.5% (1986) menjadi 14.9% (2001); dan stroke dari 5.5% (1986) menjadi 11.5% (2001). Kematian karena kanker dari 3.4% (1986) menjadi 6% (2001). 

Dari penyakit infeksi, ada beberapa penyakit yang prevalensinya meningkat, seperti malaria, demam berdarah, TBC, dan HIV/AIDS. Angka insidens malaria menurun dari 21 per 100,000 penduduk tahun 1989 menjadi 9 per 100.000 penduduk tahun 1996 di Jawa-Bali. Akan tetapi angka ini meningkat kembali menjadi 20 per 100.000 penduduk tahun 1998. Prevalensi malaria di luar Jawa-Bali meningkat 3,97% tahun 1995 meningkat menjadi 4,78% tahun 1997. Angka insidens demam berdarah tahun 1996 tercatat 23,22 per 100.000 penduduk meningkat menjadi 35,19 per 100,000 penduduk tahun 1998. Walaupun prevalensi TBC dinyatakan menurun dari 290 per 100.000 penduduk pada periode 1979-1982 menjadi 240 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 1998, akan tetapi distribusinya untuk setiap provinsi tidak merata. Pada beberapa kabupaten seperti Jawa Barat, Aceh dan Bali, masih ditemukan prevalensi TBC berada antara 650-960 per 100.000 penduduk. Untuk HIV/AIDS, pada akhir tahun 1999, 23 provinsi telah melaporkan adanya kasus HIV, dimana 14 diantara mereka penderita AIDS. Prevalensi secara nasional untuk AIDS di Indonesia adalah 0,11 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi ini bervariasi untuk setiap provinsi. Di Jakarta penderita AIDS 10 kali lebih banyak dari angka nasional, sementara Irian Jaya prevalensi AIDS 40 kali lebih tinggi dari angka nasional, atau 4,4 per 100.000 penduduk.

No comments:

Post a Comment