Status gizi pada anak baru masuk sekolah (TBABS 1994, 1999)
Akibat dari tingginya BBLR dan gizi kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Indonesia telah melaksanakan pengukuran tinggi badan pada kelompok anak ini secara nasional pada tahun 1994 dan 1999. Tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran tersebut. Pada tahun 1994, prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun (anak pendek) adalah 39,8% (lihat tabel 5). Pengukuran yang sama dilakukan pada tahun 1999, prevalensi ini hanya berkurang 3,7%, yaitu menjadi 36,1%. Terlihat juga prevalensi pendek ini semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, baik pada anak laki-laki maupun perempuan.
Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik dibanding anak di desa. Figure 7 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut umur pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun 1994 ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak yang dikategorikan sangat pendek.
Status gizi pada Usia Produktif
Masalah gizi kurang berlanjut pada kelompok umur berikutnya. Tidak tersedia secara khusus informasi atau data yang dapat digunakan untuk anak usia sekolah (laki-laki dan perempuan) 7-18 tahun. Data yang tersedia hanya untuk WUS usia 15-49 tahun. Dua cara dilakukan untuk mengetahui status gizi pada WUS yaitu dengan mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan mengukur berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan indeks massa tubuh (IMT). Status gizi kurang berdasarkan LILA < 23.5 cm digunakan untuk menggambarkan risiko kekurangan energi kronis (KEK). WUS dengan risiko KEK diasumsikan cenderung untuk melahirkan bayi BBLR. Sedangkan dengan IMT, status gizi WUS dapat diklasifikasikan sebagai kurus jika IMT <18.5 dan gemuk jika IMT >25.
Analisis secara nasional (1999 – 2003) menggambarkan bahwa proporsi LILA <23,5 cm adalah 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua. (Lihat Figure 8). Prevalensi LILA <23.5 cm pada tahun 2003 sampai mencapai >35% pada WUS usia 15-19 tahun.
Pola yang hampir sama adalah kajian wanita perkotaan menurut IMT pada survei tahun 1996/97 di seluruh ibu kota provinsi di Indonesia, seperti yang disajikan pada Figure 9. Terlihat proporsi IMT <18.5 (kurus) lebih tinggi pada usia muda 18-24 tahun, kemudian menurun untuk usia berikutnya sampai dengan 40-44 tahun, dan meningkat lagi pada usia 45–49 tahun. Masalah gizi pada usia produktif sebenarnya tidak saja karena kurus (IMT<18.5) akan tetapi juga kegemukan (IMT>25) bahkan obesitas (IMT>27 atau IMT >30). Pada survei di 27 ibu kota provinsi tahun 1996/1997, dua masalah gizi ini sudah terlihat dengan jelas. (Figure 10).
Dua masalah gizi (“double burden”) ini juga tidak saja terjadi pada usia produktif di ibu kota provinsi, akan tetapi di wilayah kumuh perkotaan maupun perdesaan juga sudah mulai terlihat dan ada kecenderungan meningkat terutama untuk masalah kegemukan. Hal ini dapat dilihat pada Figure 11, analisis dari data HKI 1999 dan 2001 yang memisahkan dua ekstrim prevalensi kurus (IMT<18.5) dan prevalensi obesitas (IMT >30) pada wanita usia produktif. Pada daerah kumuh perkotaan (Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya), masalah kurus banyak terjadi pada usia muda, dan masalah obesitas sudah mulai terlihat pada usia 30 tahun ke atas dengan prevalensi >5%. Masalah obesitas pada usia >30 tahun ini meningkat dari tahun 1999 ke tahun 2001. Di wilayah perdesaan (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Lampung, Sumbar, Lombok, Sulsel), masalah yang sama sudah mulai tampak, hanya prevalensinya lebih rendah dari wilayah kumuh perkotaan.
TBABS adalah survei untuk mengetahui tinggi badan rata-rata anak baru masuk sekolah (anak kelas I), dimana pengukuran dilakukan pada awal masuk sekolah. Dari kedua survei TBABS 1994 dan 1999, umur rata-rata anak masuk sekolah adalah 7 tahun (50%). Pada waktu pengukuran dijumpai anak usia 6 sampai dengan 9 tahun. Dari kedua survei; proporsi anak baru masuk sekolah usia 6 tahun meningkat dari 13.6% (1994) menjadi 16.4% (1999); dan proporsi anak baru masuk sekolah usia 9 tahun berkurang dari 8.2% (1994) menjadi 6.0% (1999).
No comments:
Post a Comment