Kesehatan Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan Dasar

Masalah kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Berubahnya kondisi lingkungan akan berdampak kepada berubahnya kondisi kesehatan masyarakat. Kecenderungan masalah lingkungan yang menjadi issue penting saat ini antara lain: terjadinya perubahan iklim, mulai berkurangnya sumber daya alam, terjadinya pencemaran lingkungan baik terhadap air maupun udara. Kajian kesehatan lingkungan dilakukan dari data Susenas 1996, 1999, dan 2003 dengan menghitung proporsi rumah tangga yang mempunyai akses air bersih, rumah tangga dengan lantai tanah, dan rumah tangga tanpa sanitasi. Figure 22 menunjukkan tidak terjadi perubahan yang menyolok dari tahun 1996 ke tahun 2003 hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Pada umumnya rumah tangga di daerah Indonesia Timur mempunyai kondisi yang lebih buruk dibanding Sumatera dan Jawa. Hampir 40% rumahtangga di NTB, NTT, Maluku, Papua, dan Sulawesi berkondisi tanpa sanitasi yang memadai. Hanya di Sumatera ada peningkatan 13% rumah tangga dari tahun 1999 ke tahun 2003 yang mempunyai akses air bersih. 

Analisis pelayanan kesehatan dasar yang dapt dilakukan dari Susenas 2003, adalah kelahiran pertama dan kedua yang dibantu oleh tenaga medis (dokter, bidan, tenaga kesehatan lainnya atau non-medis (dukun, kerabat, lainnya). Rata-rata anak pertama lahir dengan tenaga medis adalah: 62,05%; dan non-medis: 37,95%. Sedangkan kelahiran anak kedua, rata-rata ditolong tenaga medis: 68,95%; dan non-medis 31,05%. Dari angka rata-rata ini, jika kabupaten diklasifikasikan menjadi 4 untuk kelahiran tenaga medis, yaitu: <25%; 25-50%, 50-75%, dan >=75%; maka dapat dilihat bahwa ada peningkatan jumlah kabupaten untuk kelahiran anak kedua yang >75% dibantu tenaga medis. Demikian sebaliknya kelahiran kedua yang ditolong tenaga-non medis (klasifikasi kabupaten: <10%, 10-20%, 20-30%. >=40%). (Figure 23) 

Sedangkan pelayanan gizi yang dilakukan melalui Posyandu, terutama untuk pemantauan pertumbuhan dan penyuluhan gizi pada Susenas tidak ada informasinya. Pengamatan berdasarkan laporan program aktivitas Posyandu ini cukup baik untuk balita terutama sampai usia 2 tahun dengan integrasi imunisasi. Aktivitas selanjutnya sampai usia 5 tahun, cakupan program atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi, mulai dari terendah 10% sampai tertinggi 80%. Jika diamati pemantauan pertumbuhan yang dilakukan rutin setiap bulan, partisipasinya masih sangat rendah berkisar antara 1-5%. 


Pendidikan 
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Data dari Susenas menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia telah menurun dari 57,1% di tahun 1961, menjadi 12,75% pada tahun 1994. Selanjutnya, telah terjadi peningkatan angka melek huruf, khususnya pada wanita, yakni dari 78,7% pada tahun 1990 pada kelompok usia 10 tahun keatas. Pada tahun 1995, angka melek huruf ini menjadi 82,9%, dan pada tahun 2003 menjadi lebih baik yaitu 87,7%, dengan distribusi yang agak berbeda antara perkotaan (93,0%) dan perdesaan (83,8%). Sedangkan pada laki-laki angka melek huruf adalah 94,2%, dimana perkotaan lebih baik dari perdesaan: 97,2% dan 91,9%. 

Sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk tingkat nasional, terlihat ada peningkatan sedikit untuk anak SD, SLTP, dan SLTA dari tahun 1995 ke tahun 2002. Proporsi masuk sekolah tingkat SLTA terlihat masih cukup jauh untuk mencapai 50% terutama untuk perdesaan. (lihat tabel 7). Pada tahun 2003, jika analisis kepemilikan ijazah atau sekolah yang ditamatkan dilakukan hanya pada kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, maka terlihat masih rendahnya tingkat pendidikan kepala/ibu rumah tangga. Hanya 40% dari laki-laki yang berpendidikan SLTP ke atas, 60% tidak sekolah dan tamat SD; pada perempuan presentasinya lebih tinggi, yaitu 70% tidak sekolah dan hanya tamat SD. (Lihat figure 24). 


Kemiskinan 
Pada tahun 1970-an, Indonesia dikategorikan dalam kelompok “Poor Country”, berpindah menjadi “low-income country” pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk dalam ranking “middle-income countries” (>$650). Pada tahun 1997 pendapatan per kapita per tahun mencapai $1100. Krisis ekonomi menurunkan pendapatan per kapita menjadi $670 pada tahun 1999, dan mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703). Krisis ekonomi telah menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran. 

Indikator penting untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan angka kemiskinan. Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk miskin berjumlah 42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun 1990, dan menjadi 11,3% pada tahun 1996. Namun dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah penduduk miskin meningkat kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai angka 18.2% pada tahun 2002. 

Distribusi penduduk miskin ini bervariasi antar kabupaten, mulai dari yang terendah 2,6% sampai dengan yang tertinggi mencapai 61%.

No comments:

Post a Comment