Lembaga Negara

Sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena digunakannya kewenangan lembaga negara yang diperolehnya dari UUD 1945, dan kemudian dengan penggunaan kewenangan tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain. Dalam arti ini, maka lembaga negara yang lebih rendah kedudukannya, dalam arti yang secara stricto sensu juga tidak disebut lembaga negara, tetapi yang juga lembaga negara yang memiliki tugas-tugas secara konstitusional menurut UUD, termasuk dalam kategori ini. Apapun tafsiran yang diberikan terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD, jelas bahwa wewenang sebagai kepala daerah, yang memimpin sebagian tugas pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, maka kewenangan itu diberikan UUD 1945 melalui ”Pemilihan secara demokratis”.

Wewenang menjalankan Pemerintahan Daerah, diberikan kepada Bupati, dan lembaga DPRD, jelas adalah berasal dari UUD 1945. Tidak ada faedahnya untuk menafsirkannya secara lain, karena perolehan kewenangan untuk menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan tersebut dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan tersebut, tidak berbeda dengan kewenangan yang diterima dan diberikan UUD 1945 kepada Presiden dan DPR. Justru akan terasa kegagalannya untuk menegakkan Konstitusi sebagai hukum tertinggi yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan hukum dan Konstitusi, jikalau mengambil tafsiran yang bersifat restriktif dan tanpa dasar yang cukup. 

Original intent dari pembuat UUD, merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, akan tetapi merupakan fakta yang diakui secara universal, bahwa pembuat UUD juga harus memberikan keleluasaan bagi Mahkamah untuk melakukan penyesuaian dalam memenuhi tuntutan dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan praktek (The Court needs to adapt to meet the demands of the unknown future), dan hemat kami pembuat UUD tidaklah pernah bermaksud menghambat Mahkamah untuk memiliki keleluasaan melakukan penyesuaian akan tuntutan kebutuhan dalam rangka melaksanakan tujuannya mengawal Konstitusi. Demokrasi dan keseluruhan sistem kelembagaannya adalah satu karya yang terus tumbuh, sebagaimana juga ditunjukkan oleh negara-negara yang lebih dulu maju, yang tidak mampu diatur oleh pembuat UUD secara sempurna sehingga tidak lagi membutuhkan tafsiran dalam kenyataan politik.


Persoalan pokok yang harus dijawab terlebih dahulu adalah, apakah keputusan pengangkatan dan pemberhentian Bupati, yang merupakan kelanjutan pemilihan kepala daerah, tunduk dan menjadi objek sengketa TUN? Sebelum melihat ketentuan UU Pemerintahan Daerah, maka jika memang aturan dalam UU memberi peran pada Presiden dan Mendagri untuk mengeluarkan SK pengangkatan Bupati dimaksud, tetapi Pejabat TUN dimaksud tidak memiliki diskresi penuh untuk menilai kecakapan dan kelayakan seseorang sebelum mengangkat/menghentikannya menjadi Bupati/Wakil Bupati atau kemudian hal itu dilakukan Mendagri hanya berdasarkan Putusan MA yang telah berkekuatan, ukuran atau tolok ukur yang digunakan dalam menentukan apakah ini merupakan sengketa kewenangan yang disebut Pasal 24C UUD 1945, ialah apakah keputusan Mendagri tersebut didasarkan pada kebebasan diskresi. Hal demikian juga menjadi relevan kalau terjadi kelalaian Hakim dalam menerapkan aturan UU dan Konstitusi, sebagaimana didalilkan Pemohon, maka sengketa ini tunduk pada jurisdiksi MK, sehingga karenanya MK berwenang mengadili perkara ini, karena penggunaan wewenang Mendagri secara tidak tepat telah menghilangkan kewenangan yang diemban oleh Bupati yang telah bertugas sebagai Kepala Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Kabupaten Bekasi. 

Persoalan kewenangan ini harus dilihat dari segi batasan antara hukum tata negara dengan Hukum Administrasi Negara, yang keduanya masuk dalam domain hukum publik. Dalam arti yang luas, Hukum Tata Negara meliputi juga Hukum Administrasi Negara, yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antar perlengkapan negara secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warganegara dan hak asasinya. Jadi dalam arti luas juga mencakup hubungan bukan saja antar lembaga negara, tetapi juga antara lembaga negara dengan warganegara. 

Oleh karena definisi yang demikian, maka tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan antara PTUN dengan Mahkamah Konstitusi, dengan akibat terjadinya kemungkinan overlap diantara kedua kewenangan tersebut. Tetapi satu ukuran yang jelas dapat dilihat dari batasan yang ditetapkan sebagai diluar kewenangan PTUN yaitu hasil pemilihan sebagai lembaga demokrasi. Pengesahan atau pengukuhan hasil pemilihan kepala daerah berupa keputusan Presiden atau Mendagri, meskipun formil adalah satu keputusan TUN yang final, individual dan konkrit, akan tetapi Mendagri sebagai pejabat TUN dalam kaitan pengesahan Bupati/Kepala daerah hasil Pilkada, berwenang membuat SK bukan dengan satu kewenangan diskresioner, yang menilai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh UU, melainkan hal itu hanya pengesahan/pengukuhan. Perselisihan tentang dipenuhi tidaknya syarat untuk ikut pemilihan terletak dalam wewenang panitia pemilihan (sekarang KPUD), dan Mendagri sebagai pejabat TUN tidak memiliki kewenangan diskresioner untuk menentukan seorang Bupati terpilih tidak memenuhi syarat itu, sebagaimana kewenangan TUN dalam mengangkat pejabat TUN atau pegawai lainnya. Dalam UU Pemerintahan Daerah yang menetapkan sebagai Kepala Daerah berdasarkan hasil pemungutan suara, adalah DPRD dan Mendagri bertugas mengukuhkan atau mengesahkan. Hal tersebut harus dilihat dan dinilai bukan dari segi hukum tata usaha negara, melainkan dari segi hukum tata negara, yaitu sebagai satu mekanisme hubungan antar lembaga negara yang pejabatnya diisi secara demokratis. 

SK pengangkatan atau pengesahan itu tidak dapat dilihat sebagai keputusan TUN yang murni, karena sesungguhnya hal itu hanya merupakan satu perbuatan hukum tata negara sebagai kewenangan yang diatur secara konstitusional dan karenanya harus dinilai secara konstitusional, yang menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah di dalam prinsip negara kesatuan. Pengukuhan dengan SK Mendagri tersebut merupakan satu penyelesaian administrasi ketatanegaraan bukan Keputusan TUN, karena menyangkut pengisian pejabat publik melalui mekanisme demokratis sebagaimana ditentukan UUD 1945. Kalau SK Mendagri demikian memiliki fungsi konstitutif dalam menentukan kedudukan kepala daerah, maka yang menetapkan seorang menjadi kepala daerah bukan pemilihan secara demokratis, melainkan pengangkatan oleh Mendagri atau Presiden. Hal demikian, jika benar, jelas bertentangan dengan UUD 1945, karena yang menentukan dan menetapkan seorang menjadi kepala daerah adalah pemilihan demokratis. 


Wilayah kekuasaan MK adalah untuk menjaga jangan sampai ada ketentuan Konstitusi yang dilanggar dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara, dengan menerapkan uji konstitusionalitas juga ketika terjadi perselisihan (dispute) yang didalilkan bahwa lembaga negara tertentu melaksanakan kewenangannya justru menghilangkan kewenangan lembaga negara lain atau melanggar kewenangan konstitusionalnya. Atas dasar uraian dan alasan-alasan diatas, kami berpendapat MK berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa ini.

No comments:

Post a Comment