Pengambilan keputusan Hakim dilakukan secara tertutup dan rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim(RPH). Pengambilan keputusan tersebut harus memenuhi korum sekurang-kurangnya 7 orang Hakim diantara 9 Hakim Konstitusi, dengan cara musyawarah untuk mufakat. Itu berarti, Ketua Majelis harus terlebih dahulu berusaha mendekatkan pendapat yang saling berbeda, dengan harapan tercapai suara yang utuh, yang tentu akan menambah legitimasi putusan, yang sangat berpengaruh pada implementasi.
Akan tetapi apabila musyawarah yang telah dilakukan dengan sungguh-sungguh namun mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak. Dalam hal demikian ada kemungkinan Hakim yang berbeda akan memberikan pendapat tersendiri, baik yang pendapatnya berbeda (dissenting opinion) atau sekedar alasannya yang berbeda tapi hasilnya sama (concurring opinion). Kedua pendapat tersebut dimuat dalam putusan, meskipun secara terpisah dari putusan mayoritas yang akan berlaku sebagai putusan yang mengikat.
Putusan yang diambil harus didasarkan kepada ketentuan UUD 1945, yang diyakini oleh hakim berdasar sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti, yang akan diuraikan dalam bagian fakta atau duduk perkara dan pertimbangan hukum, atas dasar mana Hakim sampai kepada diktum putusannya. Untuk mengakhiri sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan
kehadapan Mahkamah Konstitusi, akan diselesaikan secara permanen dengan putusan
tingkat pertama dan terakhir yang mengikat secara umum. Putusan Mahkamah atau
putusan Pengadilan pada umumnya didefinisikan ”perbuatan hakim sebagai perjabat yang berwenang yang
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat
secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena sifatnya yang mengakhiri sengketa, maka putusan demikian disebut
juga sebagai putusan akhir.
No comments:
Post a Comment