Perdarahan Pembuluh Nadi

Pembuluh nadi bertugas membawa darah segar dari jantung ke seluruh bagian tubuh. Kebanyakan pembuluh nadi ini tersimpan dalam di bawah jaringan tubuh, dan hanya beberapa saja yang dekat permukaan ke kulit. Tanda-tanda pendarahan pembuluh nadi adalah: darah keluar menyembur sesuai dengan denyut jantung. Darah yang keluar berwarna merah segar. 

Tindakan pertolongan harus segera diberikan karena penderita akan cepat kehilangan darah dan terjadi shock. Ada tiga cara penghentian perdarahan nadi: 

1. Tekanan di tempat perdarahan 

Cara ini adalah yang terbaik untuk perdarahan nadi pada umumnya. Caranya adalah dengan menggunakan setumpuk kasa steril (kain bersih biasa), tempat perdarahan itu ditekan. Tekanan tersebut harus dipertahankan sampai terhenti atau sampai pertolongan yang lebih lanjut (pertolongan oleh tenaga medis) dapat di berikan. Penekanan ini dilakukan selama 15-20 menit atau sampai terfiksasi sehingga tidak ada lagi perdarahan. 

Kasa boleh dilepas apabila kasa sudah terlalu basah oleh darah dan perlu diganti dengan yang baru. Kemudian kasa tersebut di tutup dengan dengan balutan yang menekan, dan bawa penderita ke rumah sakit. Selama perjalanan, bagian yang mengalami perdarahan diangkat lebih tinggi dari letak jantung. 

2. Tekanan pada tempat-tempat tertentu 

Tempat-tempat yang di tekan adalah hulu (pangkal) pembuluh nadi yang terbuka. Jadi tujuan dari penekanan ini adalah untuk menghentikan aliran darah yang menuju ke pembuluh nadi yang cidera. 

Perhatikan gambar berikut, garis–garis panah menunjukkan arah aliran darah di dalam pembuluh nadi, tempat-tempat yang ditekan terletak diantara jantung dan tempat luka. 

A: untuk pedarahan di daerah muka; 

B: untuk perdarahan muka dan kepala; 

C: untuk perdarahan di kaki; 

D: untuk perdarahan di daerah bawah lutut; 

E: untuk perdarahan di lengan; 

F: untuk perdarahan di bawah siku; 

G: untuk perdarahan di pundak dan sepanjang lengan; 

H: untuk perdarahan kulit kepala dan kepala bagian atas. 


3. Tekanan dengan torniket (torniquet) 

Torniket adalah bulatan yang menjepit sehingga aliran darah di bawahnya terhenti sama sekali. Sehelai pita kain yang lebar, pembalut segitiga yang di lipat-lipat, atau sepotong ban dalam sepeda dapat digunakan untuk keperluan ini. Panjang torniket harus cukup untuk dua kali melilit bagian yang hendak di balut. Tempat yang paling baik untuk memasang torniket ini adalah lima jari di bawah ketiak (untuk perdrahan di lengan) dan lima jari di bawah lipat paha (untuk perdarahan di kaki). Cara menggunakan torniket ini adalah: 
  • Lilitkan torniket di tempat yang dikehendaki. Lebih bagus lagi apabila sebelumnya dialasi dengan kain atau kain kasa untuk mencegah timbulnya lecet pada kulit yang terkena torniket langsung. 
  • Apabila menggunakan kain maka ikatkan dengan sebuah simpul hidup, kemudian selipkan sebatang kayu di atas simpul tersebut. Selanjutnya diikat lagi dengan simpul air untuk mengencangkan torniket, tetapi jangan diputar terlalu keras, karena dapat melukai jaringan-jaringan di bawahnya. 
  • Tanda-tanda apabila torniket ini sudah dapat memperkecil denyut nadi bagian tubuh yang berada di bawah torniket, akan terlihat dari warna kulit di sekitar daerah tersebut menjadi kekuningan. 
  • Untuk memudahkan pengusungan, perlihatkan torniket, jangan di tutup dengan selimut. Selain itu setiap 10 menit torniket harus dikendurkan selama 30 detik, untuk memberi kesempatan darah memberi makanan-makanan ke jaringan di bawah torniket tersebut. Sementara torniket kendor, luka dapat ditekan dengan kasa steril. 
  • Penderita yang ditorniket harus segera dikirim ke rumah sakit, untuk memperoleh pertolongan selanjutnya. 

Jenis-Jenis Pendarahan

1. Perdarahan bawah kuku 

Pendarahan ini dapat terjadi apabila kuku terjepit pintu, terpukul martil dan sebagainya sehingga warna kuku menjadi merah dan terasa sakit. Apabila hal ini terjadi kompreslah kuku dengan es. Setelah itu, lubangi sedikit bagian kuku yang berdarah tadi untuk memungkinkan darah yang berada di bawah kuku keluar kemudian berikan saleb anti biotic pada lubang kuku tersebut. 

2. Perdarahan pada hidung (mimisan) 

Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan hampir 90% dapat berhenti sendiri. Perdarahan ini terjadi mungkin karena: 

a. Seringkali tanpa sebab, sepontan terjadi mimisan. 

b. Benturan ringan misalnya ketika mengorek ingus terlalu kuat, bersin terlalu kuat, atau benturan kuat seperti terjatuh, terpukul dll. 

c. Infeksi: sinusitis, rhintis atau penyakit infeksi lain seperti sifilis, atau lepra. 

d. Neoplasma/tumor: kasinoma atau tumor ganas lainnya. 

e. Kelainan bawaan. 

f. Penyakit kardiovaskuler: tekanan darah tinggi dan kelainan pembuluh darah. 

g. Kelainan darah: hemofili, leukemia dan trombositopenia (keguguran trombosit). 

h. Infeksi sistemik: demam berdarah, demam tifoid, influensa, dan lain-lain. 

i. Perubahan tekanan atmosfer: peyakit akibat menyelam sehingga terjadi perbedaan tekanan yang tinggi dan mendadak sehingga sering terjadi mimisan. 

j. Gangguan endokren: menarche (haid pertama kali) atau menopause. 

Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi perdarahan adalah: 

a. Untuk membantu korban maka dudukkan dia dengan kepala menunduk, hal ini untuk mencegah agar darah tidak terhisap paru-paru. 

b. Pencet hidung kanan kiri selama 10 menit. 
c. Selanjutnya masukkan segulungan kain kasa ke dalam hidung (druk). Kain kasa lebih baik lagi di basahi dengan hidrogen peroksida. Untuk beberapa waktu (20-30 menit) mintalah korban untuk membuka mulutnya dan katakan padanya untuk sementara waktu tidak menelan ludah. 

d. Bisa juga memasukkan gulungan daun sirih ke dalam lubang hidung yang berdarah. Karena daun sirih mengandung minyak atsiri (kadinen, kavikol, sineol, eugenol, kariovilen, karvakrol, tarpinen, seskuiterpen). Kandungan ini dapat membantu menyempitkan pembuluh darah. 

e. Selain itu, untuk sementara waktu korban tidak boleh mendengus atau membuang ingus. 

3. Perdarahan pada telinga 

Terjadinya perdarahan pada telinga ini bisa jadi disebabkan oleh tusukan benda tajam, mungkin juga karena tulan kepala retak, atau dapat pula di akibatkan oleh adanya ledakan yang keras. Untuk membantu korban maka hal yang harus dilakukan adalah dengan mengirim dia segera ke rumah sakit. Jangan tetesi telinga korban dengan obat tetes telinga dan jangan berusaha membersihkan gumpalan darah pada lubang telinga. 

4. Perdarahan pada waktu hamil 

Perdarahan pada ibu hamil merupakan hal yang perlu diwaspadai, karena dapat terjadi tiba-tiba bahkan kadang terjadi tanpa sebab ataupun tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan pertolongan pertama pada ibu, mengantisipasi keadaan yang lebih buruk akibat kehilangan cairan dan mencegah shock. 

Perdarahan pada waktu hamil, secara umum dibagi menjadi dua bagian, yaitu perdarahan pada kehamilan muda (di bawah 5 bulan) dan perdarahan pada kehamilan lanjut/tua (di atas 6 atau 7 bulan). 

Perdarahan pada kehamilan muda diakibatkan oleh: keguguran (abortus), kehamilan di luar kandungan (kehamilan di luar rahim) dan kehamilan anggur (mola), yaitu kehamilan yang tidak berisi janin tetapi berisi gelembung-gelembung yang berwarna seperti anggur. Perdarahan pada kehamilan tua/lanjut disebabkan oleh lepasnya plasenta/ari-ari sebelum bayi lahir atau perdarahan pada plasenta dan karena jalan lahir tertutup plasenta. 

a. Perdarahan pada kehamilan muda 

1) Keguguran atau abortus 

Tanda-tanda abortus adalah: 

a) Pengeluaran darah mulai hanya berupa bercak atau sedang hingga hebat (gumpalan darah) pada usia kehamilan di bawah 5 bulan. 

b) Terjadinya kram atau nyeri/ mulas pada perut bagian bawah. 

Cara penaganannya adalah dengan :
  • Bila perdarhan/bercak sedikit segera istirahat baring total di tempat tidur, dan tidak melakukan aktifitas apapun. 
  • Bantu semua keperluan makan-minum, mandi, dan lain-lain keperluan sehari-hari. 
  • Istirahat yang cukup dan beri support mental/psikologis. 
  • Bila perdarahan banyak segera periksa ke dokter kandungan atu rujuk ke rumah sakit. 
2) Kehamilan di luar kandungan 

Tanda-tanda kehamilan di luar kandungan adalah: 
  1. Nyeri perut bagian bawah yang sangat, bahkan hingga limbung/pingsan. 
  2. Pengeluaran darah bercak hingga sedang. 
  3. Penderita tampak pucat. 
  4. Terdapat tanda-tanda shock. 
Cara penanganannya adalah dengan: 

Penderita segera di rujuk ke rumah sakit/dokter kandungan. 

3) Kehamilan anggur atau mola. 

Tanda-tanda mola adalah: 
  1. Pengeluaran darh berwarna coklat disertai jaringan yang bergelembung-gelembung seperti anggur. 
  2. Mual dan muntah berlebihan. 
  3. Kram atau nyeri/mulas pada perut bagian bawah. 
  4. Perut tampak lebih besar dari usia kehamilannya. 
Cara penanganannya adalah dengan: 

Penderita segera di rujuk ke rumah sakit/dokter kandungan. 

b. Perdarahan pada kehamilan tua/lanjut 

1) Perdarahan karena lepasnya plasenta (ari-ari) 

Tanda-tanda perdarahan karena lepasnya plasenta adalah: 

a) Kelur darah berwarna merah tua agak kehitaman pada umur kehamilan lebih dari 6 atau 7 bulan. 

b) Biasanya terdapat faktor penyebab sebelumnya, misalnya jatuh, penyakit/infeksi, tekanan darah tinggi, dan sebagainya. 

Cara penanganannya adalah dengan: 

Penderita segera di rujuk ke rumah sakit/dokter kandungan. 

2) Perdarhan karena jalan lahir tertutup plasenta (ari-ari) 

Tanda-tanda perdarhan karena jalan lahir tertutup plasenta adalah: 

a) Pengeluaran darah ringan atau berupa bercak hingga banyak, berwarna merah segar pada kehamilan di atas 6-7 bulan. 

b) Perdarahan umumnya berhenti secara spontan. 

c) Tidak ada penyebab sebelumnya, kadang-kadang terjadi pada waktu bangun tidur. 

Cara penanganannya adalah dengan: 

Penderita segera di rujuk ke rumah sakit/dokter kandungan. 

5. Perdarahan pada rongga perut 

Perdarahan pada rongga perut yang diakibatkan oleh luka terbuka mudah diketahui. Tetapi rongga perot dapat juga terjadi tanpa luka terbuka, misalnya yang di timbulkan oleh pukulan yang keras oleh benda tumpul ke arah perut. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, hal semacam ini tidak jarang di jumpai. 

Bahay perdarahan rongga perut selain infeksi (bila ada luka terbuka), juga shock dan kematian cepat menyusul. 

Tanda-tanda perdarahan rongga perut tanpa luka terbuka ialah: penderita merasa kesakitan yang hebat pada di daerah perut. Dinding perut menegang (kadang-kadang sampai sekeras papan). Bila dipegan atau ditekan perutnya penderita akan merasa kesakitan. Mual dan muntah yang kadang-kadang berdarah merupakan salah satu tanda-tandanya. Kemudian akan cepat menjadi shock dan meninggal.Tindakan pertongan pertama: 

a. Bila ada luka terbuka: 
  • Tutup lukanya dengan snelverband. Jika tidak ada snelverband, tutuplah dengan setumpuk tebal kasa steril. Siramlah kasa seteril dengan cairan steril (aquadest steril atau larutan garam steril). 
  • Apabila ada usus yang nampak keluar, jangan berusaha untuk memasukkannya kembali. 
  • Balutlah luka tersebut dengan balutan yang menekan. 
  • Jangan dfiberi minum atau makanan apa pun. Jika penderita merasa haus, cukup basahi bibirnya dengan air. 
  • Kirim segera ke rumah sakit. 
b. Tanpa luka terbuka (akibat pukulan atau ledakan): 
  • Jangan diberi minum atau makan apa pun. 
  • Balut perut dengan balutan menekan. 
  • Kirim segera ke rumah sakit. 
6. Perdarahan di kepala 

Kulit kepala mempunyai jaringa pembuluh darah yang sangat banyak jumlahnya. Sehingga luka yang dangkalpun banyak mengalirkan darah. Perdaran di kepala akan lebih berbahaya jika terjadi di atas telinga atau di belakang kepala. Tindakan pertolongan: 
  • Perhatikan mungkin ada tulang kepala yang retak (perdarahan lewat te linga dan hidung) 
  • Perhatikan pula tulang kepala yang pecah dan mungkin ada gangguan pada otak. Jika tidak ada tanda-tanda patah tulang kepala atau gangguan pada otak. Hentikanlah pendarahan dengan cara menekan langsung pada luka. 
  • Luka ditutup dengan kasa steril dan diberi balutan menekan. 
Jika tidak ada tanda-tanda patah tulang kepala atau gangguan pada otak: tekanan langsung pada luka akan lebih berbahaya. Yang harus dikerjakan ialah: Mencoba menghentikan perdarahan dengan menekan nadi yang mengalirkan darah ke kulit kepala. Cara melakukannya yaitu dengan cara menggunakan tiga jari tangan, nadi leher di tekan ke belakang. Ibu jari tangan yang menekan diletakkan di tengkuk. Jadi nadi ditekan ke arah ibu jari, jangan ke arah tenggorokan. Nadi yang di tekan adalah nadi yang terletak pada sisi yang sama dengan tempat perdarahan. Penekanan dilakukan lebih rendah dari jakun. 

Kemudian tindakan pertolongan pertama yang harus dilakukan jika terjadi luka terbuka di kepala tanpa disertai patah tulang kepala adalah: 
  • Gunting rambut sekitar luka. 
  • Bersihkan luka dengan cairan steril. 
  • Tutup luka dengan kasa steril lalu di balut 
  • Bawa penerita ke dokter 
7. Perdarahan di selaput otak 

Kecelakaan di kepala mungkin tidak mengakibatkan apa-apa di luarnya. Tetapi pembuluh darah selaput otak mungkin pecah. Dalam hal ini biasanya penderita tidak merasa apa-apa kecuali sedikit pusing setelah kecelakaan. Tetapi semakin lama darah yang mengumpul di rongga otak semakin banyak dan semakin menekan otak. Oleh sebab itu penderita akan merasa semakin pusing, muntah-muntah dan pingsan. Tindakan pertolongan pertama yang harus di lakukan adalah: 
  • Setiap korban kecelakaan yang yang diduga mengalami benturan di kepala harus diperlakukan sebagai penderita gegar otak. 
  • Meskipun tetap sadar, penderita tetap harus berbaring dengan kepala dialasi bantal. 
  • Setiap 15 atu 30 menit kesadaran penderita harus diperiksa. Jika perlu penderita harus dibangunkan jika tertidur. Kesadaran yang menghilang sementara ia tertidur akan lebih sulit diketahui. 
  • Apabila kesadaran menurun, atau kepala semakin pusing, atau muntah-muntah semakin banyak, penderita harus segera di bawa ke rumah sakit dalam keadaan tetap berbaring. 
8. Perdarahan di mata 

Kelilip yang tajam atau tusukan benda tajam dapat melukai mata.Tindakan pertolongan yang harus dilakukan:Penderita harus segera diusung ke rumah sakit dengan mata di balut dengan menggunakan balutan (kasa) steril.

Pengertian Pendarahan


Gangguan perdarahan adalah istilah umum untuk berbagai masalah medis yang mengarah ke pembekuan darah miskin dan perdarahan terus-menerus. Dokter juga menyebut mereka istilah-istilah seperti koagulopati, perdarahan dan gangguan pembekuan darah. 

Ketika seseorang memiliki kelainan pendarahan mereka memiliki kecenderungan untuk berdarah lagi. Kelainan dapat disebabkan oleh cacat pada pembuluh darah atau dari kelainan dalam darah itu sendiri. Mungkin kelainan pada faktor pembekuan darah atau platelet. 

Pembekuan darah, atau koagulasi, adalah proses yang mengendalikan perdarahan. Berubah darah dari cair ke padat. Ini adalah proses kompleks yang melibatkan sebanyak 20 protein plasma yang berbeda, atau faktor pembekuan darah. Biasanya, proses kimia yang kompleks terjadi menggunakan faktor pembekuan ini untuk membentuk suatu zat yang disebut fibrin yang berhenti berdarah. Ketika faktor-faktor koagulasi tertentu yang kurang atau hilang, proses ini tidak terjadi secara normal. Pendarahan Gangguan Pembekuan Ilustrasi 

A. Penyebab dan CaraMengatasi Perdarahan 

Penanganan cidera dinilai melalui tingkatan cedera berdasarkan adanya perdarahan lokal. 

1. Akut (0-24 jam) 

Kejadian cedera antara saat kejadian sampai proses perdarahan berhenti, biasanya 24 jam, pertolongan yang benar dapat mempersingkat periode ini. 

2. Sub-akut (24-48 jam) 

Masa akot telah berakhir, perdarahan telah berhenti, tetapi bisa berdarah lagi. Bila pertolongan tidak benar akan kembali ke tingkat akut, berdarah lagi. 

3. Tingkat lanjut (48 jam sampai lebih) 

Pedarahan telah berhenti, kecil kemungkinan kembali ke tingkat akut, penyembuhan telah mulai. Dengan pertolongan yang baik masa ini dapat dipersingkat, pelatih harus sangat mahir dalam hal ini agar tahu kapan harus meminta pertolongan dokter. 

Perdarahan pada umumnya 

1. Perdarahan bawah kuku 

Pendarahan ini dapat terjadi apabila kuku terjepit pintu, terpukul martil dan sebagainya sehingga warna kuku menjadi merah dan terasa sakit. Apabila hal ini terjadi kompreslah kuku dengan es. Setelah itu, lubangi sedikit bagian kuku yang berdarah tadi untuk memungkinkan darah yang berada di bawah kuku keluar kemudian berikan saleb anti biotic pada lubang kuku tersebut. 

2. Perdarahan pada hidung (mimisan) 

Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan hampir 90% dapat berhenti sendiri. Perdarahan ini terjadi mungkin karena: 

a. Seringkali tanpa sebab, sepontan terjadi mimisan. 

b. Benturan ringan misalnya ketika mengorek ingus terlalu kuat, bersin terlalu kuat, atau benturan kuat seperti terjatuh, terpukul dll. 

c. Infeksi: sinusitis, rhintis atau penyakit infeksi lain seperti sifilis, atau lepra. 

d. Neoplasma/tumor: kasinoma atau tumor ganas lainnya. 

e. Kelainan bawaan. 

f. Penyakit kardiovaskuler: tekanan darah tinggi dan kelainan pembuluh darah. 

g. Kelainan darah: hemofili, leukemia dan trombositopenia (keguguran trombosit). 

h. Infeksi sistemik: demam berdarah, demam tifoid, influensa, dan lain-lain. 

i. Perubahan tekanan atmosfer: peyakit akibat menyelam sehingga terjadi perbedaan tekanan yang tinggi dan mendadak sehingga sering terjadi mimisan. 

j. Gangguan endokren: menarche (haid pertama kali) atau menopause. 

Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi perdarahan adalah: 

a. Untuk membantu korban maka dudukkan dia dengan kepala menunduk, hal ini untuk mencegah agar darah tidak terhisap paru-paru. 

b. Pencet hidung kanan kiri selama 10 menit. 

c. Selanjutnya masukkan segulungan kain kasa ke dalam hidung (druk). Kain kasa lebih baik lagi di basahi dengan hidrogen peroksida. Untuk beberapa waktu (20-30 menit) mintalah korban untuk membuka mulutnya dan katakan padanya untuk sementara waktu tidak menelan ludah. 

d. Bisa juga memasukkan gulungan daun sirih ke dalam lubang hidung yang berdarah. Karena daun sirih mengandung minyak atsiri (kadinen, kavikol, sineol, eugenol, kariovilen, karvakrol, tarpinen, seskuiterpen). Kandungan ini dapat membantu menyempitkan pembuluh darah. 

e. Selain itu, untuk sementara waktu korban tidak boleh mendengus atau membuang ingus. 

3. Perdarahan pada telinga 

Terjadinya perdarahan pada telinga ini bisa jadi disebabkan oleh tusukan benda tajam, mungkin juga karena tulan kepala retak, atau dapat pula di akibatkan oleh adanya ledakan yang keras. Untuk membantu korban maka hal yang harus dilakukan adalah dengan mengirim dia segera ke rumah sakit. Jangan tetesi telinga korban dengan obat tetes telinga dan jangan berusaha membersihkan gumpalan darah pada lubang telinga.

Pemikiran program perbaikan gizi dan kesehatan

Pemikiran program perbaikan gizi dan kesehatan untuk yang akan datang. Berangkat dari besarnya masalah gizi dan kesehatan serta bervariasinya faktor penyebab masalah ini antar wilayah, maka diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan tidak terarah. Berikut ini merupakan pemikiran untuk program yang akan datang, antara lain: 
  1. Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan gizi, mulai dari ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif. Kajian strategi program yang efisien untuk masa yang datang mutlak diperlukan, mulai dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten. 
  2. Melakukan penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga dilakukan secara professional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal. 
  3. Melakukan strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi pemberdayaan keluarga dan menciptakan kerja sama yang baik dengan swasta. 
  4. Secara bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini merupakan strategi jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai masalah gizi dan kesehatan. 
Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Dua survei nasional (Survei Kesehatan Rumah Tangga/SKRT) tahun 1995 dan 2001 hanya dapat menunjukkan kecenderungan prevalensi anemia pada balita, perempuan usia 15-44 tahun dan ibu hamil (Figure 13). Prevalensi anemi pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001); pada wanita usia subur 15-44 tahun dari 39.5% (1995) menjadi 27.9% (2001). SKRT 2001 juga mengkaji prevalensi anemia pada balita dengan kelompok umur: < 6 bulan, 6-11 bulan, 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-59 bulan. Figure 14 menunjukkan bahwa pada bayi <6 bulan (61.3%), bayi 6-11 bulan (64.8%), dan anak usia 12-23 bulan (58%). Selanjutnya prevalensi menurun untuk anak usia 2 sampai 5 tahun. 

Proyeksi status gizi penduduk

Dari uraian sebelumnya status kesehatan penduduk disebut tergantung dari keadaan gizi. Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat tercapai. Berikut ini hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir 2003 di Indonesia dan dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit for Children 2002, dan Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi tergantung dari banyak faktor. Berdasarkan uraian sebelumnya dan juga yang tertuang pada bagan 1 dan bagan 2, penyebab yang mendasar adalah: 


Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian pemantauan konsumsi makanan tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan (lihat tabel 10): 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari 1500 Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gram per orang per hari atau mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan. (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi/WKNPG, 2000). Berdasarkan SP 2000, diperkirakan jumlah rumah tangga adalah 51.513.364, berarti masalah ketahanan pangan melanda 20-25 juta rumah tangga di Indonesia. Walaupun ada perbaikan pada tahun 2003 terhadap ketahanan pangan rumah tangga, kajian ini masih menujukkan rasio pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total keluarga yang masih tinggi. Paling tidak Indonesia masih menghadapi 20% kabupaten di perdesaan dimana rasio ini masih >75%, dan 63% kabupaten dengan rasio pengeluaran pangan/non pangan antara 65-75%. 

Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan kemiskinan, yang berdasarkan kajian Susenas 2002, diketahui proporsi penduduk miskin adalah 18.2% atau 38,4 juta penduduk (BPS, 2002). Sebaran penduduk miskin tingkat kabupaten sangat bervariasi, masih ada sekitar 15% kabupaten dengan persen penduduk miskin > 30% 

Ketidak seimbangan antar wilayah (kecamatan, kabupaten) yang terlihat dari variasi prevalensi berat ringannya masalah gizi, masalah kesehatan lainnya, dan masalah kemiskinan. Seperti diungkapan pada uraian sebelumnya bawah ada 75% kabupaten di Indonesia menanggung beban dengan prevalensi gizi kurang pada balita >20%. 

Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi, lingkungan, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan cakupan imunisasi yang masih belum universal. Penyakit infeksi penyebab kurang gizi pada balita antara lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun 1991, 1994 dan 1997 prevalensi ISPA tidak menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%. Bahkan hasil SKRT 2001 prevalensi ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare SDKI 1991, 1994 dan 1997 juga tidak banyak berbeda dari tahun ketahun yaitu masing-masing 11%, 12% and 10%; dan hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%. 

Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu yang tidak berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada sekitar 30% dari jumlah balita yang ada. Pemberian ASI saja pada umumnya masih rendah, dan adanya kecenderungan yang menurun dari tahun 1995 ke tahun 2003. Lebih lanjut pemberian ASI saja sampai 6 bulan cenderung renda, hanya sekitar 15-17%. Setelah itu pemberian makanan pendamping ASI menjadi masalah dan berakibat pada penghambatan pertumbuhan. 
Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di Indonesia merupakan masalah kronis. Masih tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya pendapatan dan rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan indeks SDM rendah. Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor pemerintah dan non-pemerintah (tahun 2000: Rp 147.0/kapita/tahun), demikian juga pembiayaan untuk gizi (tahun 2003: Rp 200/kapita/tahun). 

Dari besaran masalah gizi 2003 dan penyebab yang multi faktor, maka dapat diprediksi proyeksi kecenderungan gizi yad seperti berikut: 

1. Proyeksi prevalensi gizi kurang pada balita 
Dari uraian sebelumnya, penurunan prevalensi gizi kurang pada balita (berat badan menurut umur) yang dikaji berdasarkan Susenas 1989 sampai dengan 2003 adalah sebesar 27% atau penurunan prevalensi sekitar 2% per tahun. Telah banyak intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan status gizi pada balita, antara lain pelayanan gizi melalui Posyandu. Dengan meningkatkan upaya pelayanan status gizi terutama berkaitan dengan peningkatan konseling gizi kepada masyarakat, diharapkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang minimal sama dengan periode sebelumnya atau sebesar 30%. Pada hasil kajian Susenas 2003, prevalensi gizi kurang adalah 19,2% dan gizi buruk 8,3%. Dengan asumsi penurunan 30%, diperkirakan pada tahun 2015 prevalensi gizi kurang menjadi 13,7% dan prevalensi gizi buruk menjadi 5.7% 

2. Proyeksi prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah 
Perubahan ukuran fisik penduduk merupakan salah satu indikator keberhasilan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sudah diketahui bersama bahwa dibanyak negara anak-anak tumbuh lebih cepat dari 20-30 tahun yang lalu. Mereka tidak hanya matang lebih awal tetapi juga mencapai pertumbuhan dewasa lebih cepat. Dari beberapa penelitian yang dilakukan pada beberapa negara, menunjukkan adanya perbedaan tinggi badan antara kelompok usia 20 tahun dan 60 tahun pada pria maupun wanita dewasa setinggi kurang lebih 8 cm. Dinyatakan pula bahwa pada kebanyakan negara sedang berkembang ‘secular trend” dari kenaikan tinggi badan adalah 1 cm untuk setiap decade semenjak tahun 1850. Perubahan ini sangat erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perubahan kualitas hidup manusia. Di Indonesia penelitian “secular trend” kenaikan tinggi badan penduduk dari satu waktu tertentu. Informasi yang ada adalah hasil survei ansional 1978 dan 1992 pada anak balita dari 15 provinsi. Dari hasil kedua survei tersebut, dinyatakan bahwa ada perubahan rata-rata tinggi badan sebesar 2,3 cm pada anak laki-laki dan 2,4 cm pada anak perempuan dalam jangka waktu 14 tahun. 

Analisis yang dilakukan pada survei TBABS menunjukkan penurunan prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah tahun 1994-1999 sebesar 3.7%. Stunting atau pendek merupakan masalah gizi kronis dan pada umumnya penurunan sangat lambat. Pengalaman kenaikan tinggi badan rata-rata dari generasi ke generasi pada negara sedang berkembang pada umumnya setinggi 1 cm dalam periode 10 tahun. Dari tabel 6 terlihat kenaikan tinggi badan rata-rata anak baru masuk sekolah dari tahun 1994 ke tahun 1999 dalam waktu 5 tahun berkisar antara 0.1-0.3 cm. Dengan situasi tahun 1999 dengan penurunan hanya 3,7% dalam kurun waktu 5 tahun, serta menggunakan asumsi yang sama dengan penurunan prevalensi gizi kurang pada balita, yaitu 40% maka pada tahun 2015 prevalensi stunting pada anak baru masuk sekolah diasumsikan akan menjadi 24%. 


3. Proyeksi KEK pada Wanita Usia Subur 
Berdasarkan kajian Susenas 1999-2003, penurunan proporsi risiko KEK berkisar antara 5-8% dalam kurun waktu 4 tahun tergantung pada kelompok umur. Kelompok wanita usia subur sampai dengan tahun 2003 belum menjadi prioritas program perbaikan gizi. Untuk peningkatan status gizi penduduk, kelompok umur ini terutama pada WUS usia 15 – 19 tahun harus menjadi prioritas untuk masa yang akan datang. Seperti yang terlihat pada Figure 10, 35-40% WUS usia 15-19 tahun berisiko KEK. 

Intervensi yang dilakukan untuk kelompok umur ini mungkin tidak terlalu kompleks dibanding intervensi pada balita atau ibu hamil. Akan tetapi intervensi yang dilakukan akan lebih banyak bermanfaat untuk membangun sumber daya manusia generasi mendatang. Dengan menggunakan asumsi penurunan yang terjadi dari tahun 1999 – 2003 untuk kelompok umur 15-19 tahun. Dengan posisi proporsi resiko KEK 35% pada tahun 2003, pada tahun 2015 asumsinya akan menjadi 20%. Asumsi penurunan proporsi KEK pada kelompok WUS 15-19 tahun 2015 diharapkan dapat menekan terjadinya BBLR, menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita dan juga mempercepat kenaikan tinggi badan anak Indonesia. 

4. Proyeksi masalah gizi mikro 
Masalah gizi mikro yang sudah terungkap sampai dengan tahun 2003 adalah masalah KVA, GAKY dan Anemia Gizi. Masih banyak masalah gizi mikro lainnya yang belum terungkap akan tetapi berperan sangat penting terhadap status gizi penduduk, seperti masalah kurang kalsium, kurang asam folat, kurang vitamin B1, kurang zink. 

Mayoritas intervensi yang telah dilakukan untuk mengurangi masalah KVA, GAKY dan Anemia Gizi di Indonesia masih berkisar pada suplementasi atau pemberian kapsul vitamin A, kapsul yodium, maupun tablet besi. Strategi lain yang jauh lebih efektif seperti fortifikasi, penyuluhan untuk penganekaragaman makanan masih belum dilaksanakan. 

Untuk proyeksi masalah gizi mikro sampai dengan tahun 2015 sesuai dengan informasi yang tersedia sampai dengan tahun 2003 ini hanya dapat dilakukan untuk masalah KVA, GAKY dan anemia gizi. Data dasar untuk keseluruhan masalah gizi mikro untuk waktu mendatang perlu dilakukan, karena informasi untuk kurang kalsium, zink, asam folat, vitamin B1 hanya tersedia dari hasil informasi konsumsi makanan pada tingkat rumah tangga yang cenderung defrisit dalam makanan sehari-hari. 

Pada uraian sebelumnya diketahui masalah KVA pada balita diketahui hanya dari hasil survei 1992. Pada survei tersebut dinyatakan masalah xeroftalmia sebagai dampak dari KVA sudah dinyatakan bebas dari Indonesia, akan tetapi 50% balita masih menderita serum retinal <20 mg, dimana dengan situasi ini akan dapat mencetus kembali munculnya kasus xeroftalmia. Dari beberapa laporan, kasus xeroftalmia ternyata sudah mulai muncul kembali, terutama di NTB. Pemberian kapsul vitamin A pada balita diasumsikan belum mencapai seluruh balita. Intervensi KVA dengan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi untuk 5 tahun kedepan masih dianggap perlu, selain strategi lain (fortifikasi, penyuluhan, dan penganekaragaman makanan) mulai diintensifkan. Diharapkan dengan “multiple strategy” 50% KVA pada balita dapat ditekan menjadi 25% pada tahun 2015, atau penurunan 50%. 

Tahun 2003 ini sudah dilakukan evaluasi penanggulangan GAKY untuk mengetahui prevalensi GAKY setelah informasi terakhir adalah 9,8% pada tahun 1996/1998. pada tahun 1996 diasumsikan prevalensi GAKY akan diturunkan sekurang-kurangnya 50% pada tahun 2003 setelah intensifikasi proyek penanggulangan GAKY (IP-GAKY) 1997-2003. Akan tetapi, penurunan ini secara nasional tidak terjadi, masih banyak masalah yang belum teratasi secara tuntas dalam penanggulangan ini, antara lain konsumsi garam beryodium tingkat rumah tangga masih belum universal (SUSENAS 2003 menunjukkan hanya 73% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium). Selain itu pemantauan pemberian kapsul yodium pada daerah endemik berat dan sedang tidak diketahui sampai sejauh mana kapsul ini diberikan pada kelompok sasaran. Mengingat masalah GAKY sangat erat kaitannya dengan kandungan yodium dalam tanah, pada umumnya prevalensi GAKY pada penduduk yang tinggal di daerah endemik berat dan sedang dapat menurun setelah intervensi kapsul yodium dalam periode tertentu dan akan membaik jika konsumsi garam beryodium dapat universal. Akan tetapi jika pemberian kapsul tidak tepat sasaran dan garam beyodium tidak bisa universal, prevalensi GAKY ada kemungkinan akan meningkat lagi. Dengan kondisi ini, ada kemungkinan prevalensi GAKY tidak bisa seratus persen ditanggulangi dalam kurun waktu 12 tahun kedepan (sampai dengan 2015). Diharapkan TGR pada tahun 2015 dapat ditekan menjadi kurang dari 5%. 

Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada ibu hamil. Seperti yang diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi anemia pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001). Penanggulangan anemia untuk yang akan datang diharapkan tidak saja untuk ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja. Angka prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%. Diproyeksikan angka ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi penurunan hanya sekitar 30% sampai dengan 2015, karena sampai dengan tahun 2002, intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih belum intensif. 

Asumsi penurunan prevalensi masalah gizi ini perlu disempurnakan dengan memperhatikan angka kecenderungan kematian, pola penyakit, tingkat konsumsi, pendapatan dan pendidikan. Selain itu sampai dengan tahun 2003, masih banyak masalah gizi yang belum terungkap terutama berkaitan dengan masalah gizi mikro lainnya yang mempunyai peran penting dalam perbaikan gizi secara menyeluruh.

Analisis Determinan Masalah Kesehatan dan Gizi

Dari uraian di atas, diketahui ada peningkatan status gizi dan status kesehatan penduduk Indonesia dilihat secara nasional, provinsi, maupun tingkat kabupaten. Walaupun demikian, masalah gizi dan kesehatan ini masih cukup dominan pada wilayah tertentu. Penurunan masalah gizi kurang, terutama pada balita, jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, Indonesia dapat menurunkan dari 39,9% tahun 1987 menjadi 27,3% pada tahun 2002. Sementara Filipina berhasil mengurangi masalah gizi kurang pada balita dari 33,2% tahun 1982 menjadi 31,8% tahun 1998. Pada tabel 8 dapat dilihat perbandingan masalah gizi kurang balita dengan negara lain pada tahun 2001. 

Pada uraian sebelumnya dijelaskan juga kemungkinan faktor atau penyebab yang berpengaruh terhadap masalah gizi dan kesehatan dengan mengikuti kerangka pikir Unicef, mulai dari penyebab langsung, ketahanan pangan tingkat rumah tangga sampai akar masalahnya, yaitu tingkat pendidikan dan kemiskinan.  Selanjutnya untuk mempertajam analisis situasi kesehatan dan gizi ini, dilakukan kajian penyebab tersebut di atas. Analisis dilakukan berdasarkan agregat kabupaten dari data Susenas 2003, dengan menggunakan: Angka Kematian Bayi (AKB) untuk menilai perubahan status kesehatan, dan Prevalensi Status gizi pada balita untuk menilai perubahan status gizi. 

Analisis regresi linier digunakan untuk mengamati asumsi perubahan AKB dan prevalensi status gizi pada beberapa variabel sosial ekonomi. Hasil analisis menyimpulkan bahwa perubahan AKB sangat siginifikan terjadi jika dilakukan upaya: 
  1. Penurunan kemiskinan 
  2. Peningkatan status gizi pada balita 
  3. Peningkatan pendidikan sampai jenjang DI/DIII pada laki-laki 
  4. Peningkatan pendidikan sampai minimal jenjang SLTP pada perempuan 
  5. Menambah jumlah rumah tangga yang memiliki tempat buang air besar sendiri 
  6. Memperkecil persentasi rumah dengan lantai tanah 
  7. Mengurangi angka morbiditas 
  8. Meningkatkan pertolongan persalinan dengan tenaga medis 
  9. Mengurangi perkawinan muda 
  10. Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok 
Sedangkan perubahan status gizi sangat signifikan terjadi jika dilakukan upaya: 
  1. Penurunan kemiskinan 
  2. Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada laki-laki 
  3. Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada perempuan 
  4. Peningkatan pengeluran untuk konsumsi sumber energi 
  5. Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi telur dan susu 
  6. Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok 
  7. Meningkatkan penggunaan KB pada perempuan 
  8. Mengurangi angka morbiditas 
Informasi yang tidak dapat dikaji dari Susenas adalah pengaruh pekerjaan terhadap status gizi. Data HKI berikut ini menunjukkan perbedaan status gizi (gizi kurang berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB < -2 SD) menurut jenis pekerjaan bapak dan ibu pada daerah kumuh perkotaan dan perdesaan. (Figure 26 dan 27). Dapat dilihat bahwa anak balita dari pegawai negeri prevalensi gizi kurang pada balita pada umumnya lebih rendah dibanding jenis pekerjaan yang lain.

Kesehatan Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan Dasar

Masalah kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Berubahnya kondisi lingkungan akan berdampak kepada berubahnya kondisi kesehatan masyarakat. Kecenderungan masalah lingkungan yang menjadi issue penting saat ini antara lain: terjadinya perubahan iklim, mulai berkurangnya sumber daya alam, terjadinya pencemaran lingkungan baik terhadap air maupun udara. Kajian kesehatan lingkungan dilakukan dari data Susenas 1996, 1999, dan 2003 dengan menghitung proporsi rumah tangga yang mempunyai akses air bersih, rumah tangga dengan lantai tanah, dan rumah tangga tanpa sanitasi. Figure 22 menunjukkan tidak terjadi perubahan yang menyolok dari tahun 1996 ke tahun 2003 hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Pada umumnya rumah tangga di daerah Indonesia Timur mempunyai kondisi yang lebih buruk dibanding Sumatera dan Jawa. Hampir 40% rumahtangga di NTB, NTT, Maluku, Papua, dan Sulawesi berkondisi tanpa sanitasi yang memadai. Hanya di Sumatera ada peningkatan 13% rumah tangga dari tahun 1999 ke tahun 2003 yang mempunyai akses air bersih. 

Analisis pelayanan kesehatan dasar yang dapt dilakukan dari Susenas 2003, adalah kelahiran pertama dan kedua yang dibantu oleh tenaga medis (dokter, bidan, tenaga kesehatan lainnya atau non-medis (dukun, kerabat, lainnya). Rata-rata anak pertama lahir dengan tenaga medis adalah: 62,05%; dan non-medis: 37,95%. Sedangkan kelahiran anak kedua, rata-rata ditolong tenaga medis: 68,95%; dan non-medis 31,05%. Dari angka rata-rata ini, jika kabupaten diklasifikasikan menjadi 4 untuk kelahiran tenaga medis, yaitu: <25%; 25-50%, 50-75%, dan >=75%; maka dapat dilihat bahwa ada peningkatan jumlah kabupaten untuk kelahiran anak kedua yang >75% dibantu tenaga medis. Demikian sebaliknya kelahiran kedua yang ditolong tenaga-non medis (klasifikasi kabupaten: <10%, 10-20%, 20-30%. >=40%). (Figure 23) 

Sedangkan pelayanan gizi yang dilakukan melalui Posyandu, terutama untuk pemantauan pertumbuhan dan penyuluhan gizi pada Susenas tidak ada informasinya. Pengamatan berdasarkan laporan program aktivitas Posyandu ini cukup baik untuk balita terutama sampai usia 2 tahun dengan integrasi imunisasi. Aktivitas selanjutnya sampai usia 5 tahun, cakupan program atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi, mulai dari terendah 10% sampai tertinggi 80%. Jika diamati pemantauan pertumbuhan yang dilakukan rutin setiap bulan, partisipasinya masih sangat rendah berkisar antara 1-5%. 


Pendidikan 
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Data dari Susenas menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia telah menurun dari 57,1% di tahun 1961, menjadi 12,75% pada tahun 1994. Selanjutnya, telah terjadi peningkatan angka melek huruf, khususnya pada wanita, yakni dari 78,7% pada tahun 1990 pada kelompok usia 10 tahun keatas. Pada tahun 1995, angka melek huruf ini menjadi 82,9%, dan pada tahun 2003 menjadi lebih baik yaitu 87,7%, dengan distribusi yang agak berbeda antara perkotaan (93,0%) dan perdesaan (83,8%). Sedangkan pada laki-laki angka melek huruf adalah 94,2%, dimana perkotaan lebih baik dari perdesaan: 97,2% dan 91,9%. 

Sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk tingkat nasional, terlihat ada peningkatan sedikit untuk anak SD, SLTP, dan SLTA dari tahun 1995 ke tahun 2002. Proporsi masuk sekolah tingkat SLTA terlihat masih cukup jauh untuk mencapai 50% terutama untuk perdesaan. (lihat tabel 7). Pada tahun 2003, jika analisis kepemilikan ijazah atau sekolah yang ditamatkan dilakukan hanya pada kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, maka terlihat masih rendahnya tingkat pendidikan kepala/ibu rumah tangga. Hanya 40% dari laki-laki yang berpendidikan SLTP ke atas, 60% tidak sekolah dan tamat SD; pada perempuan presentasinya lebih tinggi, yaitu 70% tidak sekolah dan hanya tamat SD. (Lihat figure 24). 


Kemiskinan 
Pada tahun 1970-an, Indonesia dikategorikan dalam kelompok “Poor Country”, berpindah menjadi “low-income country” pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk dalam ranking “middle-income countries” (>$650). Pada tahun 1997 pendapatan per kapita per tahun mencapai $1100. Krisis ekonomi menurunkan pendapatan per kapita menjadi $670 pada tahun 1999, dan mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703). Krisis ekonomi telah menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran. 

Indikator penting untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan angka kemiskinan. Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk miskin berjumlah 42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun 1990, dan menjadi 11,3% pada tahun 1996. Namun dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah penduduk miskin meningkat kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai angka 18.2% pada tahun 2002. 

Distribusi penduduk miskin ini bervariasi antar kabupaten, mulai dari yang terendah 2,6% sampai dengan yang tertinggi mencapai 61%.

Kebiasaan Makan dan Perilaku Hidup Sehat

Kebiasaan makan dinilai berdasarkan perilaku anggota rumah tangga mengkonsumsi makanan sehari-hari. Dalam kor Susenas 2003, informasi ini dapat diketahui dengan membedakan anggota rumah tangga usia 10 tahun keatas untuk laki-laki dan perempuan dan juga berdasarkan tempat tinggal – Kota atau Desa. Penilaian dilakukan dari berapa kali konsumsi sayur, buah, makanan sumber hewani, dan nabati dalam seminggu terakhir. Seperti pada Figure 18 berikut tidak terlihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki dan perempuan, keduanya rata-rata mengkonsumsi 3-9 kali keempat jenis makanan dalam seminggu terakhir. Laki-laki maupun perempuan mengkonsumsi sayuran pada umumnya lebih sering dibanding konsumsi buah. Jika membedakan antara Kota dan Desa, konsumsi sayuran lebih sering dikonsumsi di Desa dibanding Kota, sedangkan jenis makanan lain hampir sama antara Kota dan Desa. 

Perilaku kesehatan yang merupakan salah satu penyebab atau risiko utama dari beberapa penyakit kronis seperti penyakit jantung, stroke, kanker paru, kanker saluran pernapasan bagian atas adalah merokok. Persentase penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok di Indonesia tidak banyak berubah pada periode 1995-2001 atau hanya meningkat 1,5% dari 26,2% (tahun 1995) menjadi 27,7% (tahun 2001). Jika diperhatikan prevalensi merokok menurut jenis kelamin didapatkan perbedaan persentase yang mencolok antara penduduk laki laki dan perempuan. Persentasi perokok perempuan masih cukup rendah, yaitu kurang dari 1%. Yang perlu diwaspadai adalah kebiasaaan merokok pada laki-laki meningkat cukup tajam menjadi 40,7% pada tahun 2003. Pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi rokok ini juga meningkat dari rata-rata 9,15% terhadap pengeluaran pangan total pada tahun 1995 menjadi 10,03% tahun 2000 dan 13,15% tahun 2003. Jika dibuat tiga klasifikasi pengeluaran rokok ini menjadi <10%, 10-15%, dan >15% terhadap pengeluaran pangan total; maka pada tahun 2003 terdapat hampir 27% kabupaten di Indonesia, rumah tangganya mengeluarkan uang >=15% dari total pengeluaran pangan untuk konsumsi rokok, serta hampir 61% kabupaten masuk pada klasifikasi 10-15% untuk konsumsi rokok (lihat Figure 19). 


Pola Asuh 
Analisis pola asuh yang dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak balita. Informasi ini dapat dikaji berdasarkan Susenas 1995 dan 2003. Secara nasional pemberian ASI terutama pada bayi di bawah 1 tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi 31,1% pada tahun 2003 (Lihat figure 20). Provinsi terendah memberikan ASI adalah Aceh (23,7%) dan tertinggi NTB (42,6%). 

Jika dikaji berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan, terlihat ada kecenderungan meningkat dari tahun 1995 yaitu 35% menjadi 41% pada tahun 2003. Pemberian ASI saja sampai usia 6 bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2003, yaitu sekitar 15-17%. (Lihat figure 21). 

Faktor yang berpengaruh pada status gizi dan kesehatan

Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi penduduk, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kerangka konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji faktor penyebab masalah gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya dari data Kor Susenas 1995, 2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten, dan juga data HKI. 

Faktor yang berpengaruh pada status gizi dan kesehatan

Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah (kualitas dan kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota keluarga. Indonesia belum pernah secara nasional melakukan survei konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah yang dimakan untuk setiap individu. 

Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei konsumsi tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah tangga terhadap energi dan protein. Dari kajian survei konsumsi ini, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi berturut-turut dari tahun 1995-1998 adalah: 1999; 1969; 2051; dan 1990 Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1 gram/kap/hari. Rata-rata konsumsi energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji juga persen rumah tangga yang defisit energi mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun 1995-1998, persentasi rumah tangga dengan defisit energi bekisar antara 45 – 52% ; dan rumah tangga defisit protein berkisar antara 25 – 35% (Latief, et.al, 2000). 

Berdasarkan kor Susenas, informasi ketahanan pangan tingkat rumah tangga hanya dapat diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari kajian kor Susenas 1995, 2000, dan 2003 dilakukan perhitungan rasio pengeluaran untuk setiap item bahan makanan terhadap total pengeluaran pangan. Terlihat perubahan rasio pengeluaran pangan sumber energi dari 32,64% tahun 1995 menjadi 24,2% tahun 2003. Pengeluaran konsumsi makanan jadi meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7% tahun 2003, demikian juga terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi lainnya, terutama ikan, daging, dan buah-buahan. Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa, analisis Kor Susenas 2003 menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di Kota lebih baik dibanding Desa, dan rumah tangga di Kota lebih banyak mengeluarkan uang untuk makanan jadi dibanding rumah tangga di Desa. (Lihat figure 15) 

Walaupun terlihat ada perbaikan pola pengeluaran makanan tingkat rumah tangga pada tahun 2003, akan tetapi jika dilihat dari rasio pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total, masih sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih belum cukup baik. Pengeluaran terbesar rumah tangga masih pada makanan. Pada Figure 16 berikut, mengklasikasikan kabupaten berdasarkan 4 tingkat % pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total: 1) <55%; 2) 55-65%; 3) 65-75%; dan 4) >75%. Terlihat ada perbaikan dari tahun 2000 ke tahun 2003, akan tetapi kondisinya hampir sama dengan tahun 1995. Pada tahun 2003, terlihat sekali perbedaan antara Kota dan Desa. 

Untuk diketahui juga, selain ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, maka keamanan pangan yang dikonsumsi setiap individu juga sangat berperan untuk kesehatan dan gizi. Terutama pada rumah tangga di perkotaan dimana konsumsi makanan jadi yang semakin meningkat. Masalah keamanan pangan tidak dibahas pada analisis ini karena ketersdiaan data yang kurang. 

Morbiditas 
Informasi prevalensi menurut jenis penyakit, terutama yang berkaitan dengan masalah gizi, tidak diketahui secara lengkap. Pada Figure 17 dapat dilihat kecenderungan pola penyakit yang menyebabkan kematian tahun 1995 dan 2001. Terlihat penyakit infeksi masih dominan, diikuti dengan penyakit sirkulasi dan pernafasan. Penyebab kematian yang ditunjukkan dengan penyakit sirkulasi memperlihatkan meningkatnya penyakit degeneratif baik pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan pada perempuan, kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi ini meningkat cukup tinggi, dari 123 ke 191 per 100.000 penduduk. Terlihat juga kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan neoplasma cenderung meningkat dari tahun 1995-2001. 

SKRT 1980, 1986, 1992, 1995 dan 2001 juga mencatat proporsi kematian karena ‘Non-communicable diseases/NCD’ meningkat dari 25.41% (1980) menjadi 48.53% (2001). Proporsi kematian karena ‘Cardiovscular diseases/CVD’ meningkat dari 9.1% tahun 1986 menjadi 26.3% tahun 2001; ‘Ischaemic heart disease’ dari 2.5% (1986) menjadi 14.9% (2001); dan stroke dari 5.5% (1986) menjadi 11.5% (2001). Kematian karena kanker dari 3.4% (1986) menjadi 6% (2001). 

Dari penyakit infeksi, ada beberapa penyakit yang prevalensinya meningkat, seperti malaria, demam berdarah, TBC, dan HIV/AIDS. Angka insidens malaria menurun dari 21 per 100,000 penduduk tahun 1989 menjadi 9 per 100.000 penduduk tahun 1996 di Jawa-Bali. Akan tetapi angka ini meningkat kembali menjadi 20 per 100.000 penduduk tahun 1998. Prevalensi malaria di luar Jawa-Bali meningkat 3,97% tahun 1995 meningkat menjadi 4,78% tahun 1997. Angka insidens demam berdarah tahun 1996 tercatat 23,22 per 100.000 penduduk meningkat menjadi 35,19 per 100,000 penduduk tahun 1998. Walaupun prevalensi TBC dinyatakan menurun dari 290 per 100.000 penduduk pada periode 1979-1982 menjadi 240 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 1998, akan tetapi distribusinya untuk setiap provinsi tidak merata. Pada beberapa kabupaten seperti Jawa Barat, Aceh dan Bali, masih ditemukan prevalensi TBC berada antara 650-960 per 100.000 penduduk. Untuk HIV/AIDS, pada akhir tahun 1999, 23 provinsi telah melaporkan adanya kasus HIV, dimana 14 diantara mereka penderita AIDS. Prevalensi secara nasional untuk AIDS di Indonesia adalah 0,11 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi ini bervariasi untuk setiap provinsi. Di Jakarta penderita AIDS 10 kali lebih banyak dari angka nasional, sementara Irian Jaya prevalensi AIDS 40 kali lebih tinggi dari angka nasional, atau 4,4 per 100.000 penduduk.

Masalah Gizi Mikro

Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat besi. Menurut World Summit for Children (WSC) goal, diharapkan pada tahun 2000 seluruh negara sudah tidak lagi mempunyai masalah gizi mikro, yang ditandai dengan sudah universalnya konsumsi garam beryodium, seluruh anak dan ibu nifas telah mendapat kapsul vitamin A, tidak dijumpai lagi kasus xeropthalmia, menurunnya prevalensi anemia gizi besi pada wanita usia subur sebesar sepertiga dari kondisi tahun 1990. 

Untuk masalah kurang vitamin A, Indonesia dinyatakan bebas dari xeropthalmia pada tahun 1992. Walapun bebas dari xerophthalmia, survei nasional vitamin A tahun 1992 masih menjumpai 50% dari balita mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi balita dengan serum retinol <20 mcg/100 ml ini menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia, dan menjadi sangat tergantung dengan kapsul vitamin A dosis tinggi. Selain itu penyuluhan untuk mengkonsumsi sayur dan buah berwarna menjadi sangat penting untuk mempertahankan Indonesia tetap bebas dari xeropthalmia. Ada kemungkinan penyuluhan kurang berhasil, maka cakupan kapsul kurang vitamin A yang <80% akan membuka kemungkinan munculnya kasus xeropthalmia. Hal ini terbukti dengan laporan NTB pada tahun 2000 lalu yang masih menemukan kasus xeropthalmia. Ada kemungkinan provinsi lain yang belum berhasil mencakup >80% kapsul vitamin A terdistribusi pada balita akan menemukan kembali kasus xeropthalmia. 

Besaran masalah kurang yodium di Indonesia dipantau berdasarkan survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998 dan 2003. Terjadi penurunan yang cukup berarti, dimana pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%. Prevalensi ini menurun menjadi 27.9% pada tahun 1990, dan selanjutnya menjadi 9,8% pada tahun 1996/1998. Survei tahun 2003 prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11.1%, walaupun dilaporkan pada daerah endemik berat, prevalensi GAKY turun cukup berarti. 

Survei tahun 2003 merupakan survei nasional yang mengevaluasi dampak dari intensifikasi program penanggulangan GAKY setelah dilakukan data dasar tahun 1996/1998. Kegiatan utama dari program ini adalah mengupayakan peningkatan konsumsi garam beryodium, dan juga memberikan kapsul yodium terutama pada daerah endemik berat dan sedang yang dinilai berdasarkan data dasar 1996/1998. Garam beryodium sampai dengan tahun 2003, dikonsumsi oleh 73.2% rumah tangga secara adekuat/cukup. Angka ini cukup bervariasi antar wilayah kabupaten, mulai dari <40% sampai yang sudah >90% rumah tangga menkonsumsi garam beryodium. Figure 12 berikut menunjukkan hasil yang positif untuk penggunaan garam beryodium. Terjadi peningkatan jumlah kabupaten menjadi 104 pada tahun 2003 dimana lebih dari 90% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium. 

Intervensi pada wilayah endemik berat dan sedang adalah dengan mendistribusikan kapsul yodium, khususnya pada ibu hamil, wanita usia subur, dan anak usia sekolah. Pemantauan pemberian kapsul ini masih kurang baik. Survei evaluasi 2003, menemukan hanya 30% cakupan kapsul yodium ini sampai pada sasaran, sementara pada laporan program, cakupan ini berkisar antara 60-75%. 

Masalah GAKY masih cukup serius di Indonesia. Untuk mencapai universal konsumsi garam beryodium pada tahun 2005 memerlukan strategi yang komprehensif. Dari hasil analisis survei 1996/1998 dan survey evaluasi 2003 menunjukkan adanya peningkatan jumlah kabupaten yang dulunya tidak endemik, atau endemik ringan, menjadi daerah endemik sedang atau berat. Walaupun ada penurunan prevalensi GAKY pada daerah endemik berat dan sedang, surveilans GAKY ini sangat diperlukan, sehingga daerah yang berisiko untuk menjadi endemik dapat selalu terpantau. (Lihat tabel 6) 

Cakupan kapsul vitamin A dosis tinggi diharapkan 80% minimal untuk mencegah munculnya kasus xeropthalmia, kecuali konsumsi sayur dan buah berwarna sudah memadai/mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Status gizi pada anak

Status gizi pada anak baru masuk sekolah (TBABS 1994, 1999) 

Akibat dari tingginya BBLR dan gizi kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Indonesia telah melaksanakan pengukuran tinggi badan pada kelompok anak ini secara nasional pada tahun 1994 dan 1999. Tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran tersebut. Pada tahun 1994, prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun (anak pendek) adalah 39,8% (lihat tabel 5). Pengukuran yang sama dilakukan pada tahun 1999, prevalensi ini hanya berkurang 3,7%, yaitu menjadi 36,1%. Terlihat juga prevalensi pendek ini semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, baik pada anak laki-laki maupun perempuan. 

Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik dibanding anak di desa. Figure 7 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut umur pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun 1994 ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak yang dikategorikan sangat pendek. 

Status gizi pada Usia Produktif 
Masalah gizi kurang berlanjut pada kelompok umur berikutnya. Tidak tersedia secara khusus informasi atau data yang dapat digunakan untuk anak usia sekolah (laki-laki dan perempuan) 7-18 tahun. Data yang tersedia hanya untuk WUS usia 15-49 tahun. Dua cara dilakukan untuk mengetahui status gizi pada WUS yaitu dengan mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan mengukur berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan indeks massa tubuh (IMT). Status gizi kurang berdasarkan LILA < 23.5 cm digunakan untuk menggambarkan risiko kekurangan energi kronis (KEK). WUS dengan risiko KEK diasumsikan cenderung untuk melahirkan bayi BBLR. Sedangkan dengan IMT, status gizi WUS dapat diklasifikasikan sebagai kurus jika IMT <18.5 dan gemuk jika IMT >25. 

Analisis secara nasional (1999 – 2003) menggambarkan bahwa proporsi LILA <23,5 cm adalah 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua. (Lihat Figure 8). Prevalensi LILA <23.5 cm pada tahun 2003 sampai mencapai >35% pada WUS usia 15-19 tahun. 

Pola yang hampir sama adalah kajian wanita perkotaan menurut IMT pada survei tahun 1996/97 di seluruh ibu kota provinsi di Indonesia, seperti yang disajikan pada Figure 9. Terlihat proporsi IMT <18.5 (kurus) lebih tinggi pada usia muda 18-24 tahun, kemudian menurun untuk usia berikutnya sampai dengan 40-44 tahun, dan meningkat lagi pada usia 45–49 tahun. Masalah gizi pada usia produktif sebenarnya tidak saja karena kurus (IMT<18.5) akan tetapi juga kegemukan (IMT>25) bahkan obesitas (IMT>27 atau IMT >30). Pada survei di 27 ibu kota provinsi tahun 1996/1997, dua masalah gizi ini sudah terlihat dengan jelas. (Figure 10). 

Dua masalah gizi (“double burden”) ini juga tidak saja terjadi pada usia produktif di ibu kota provinsi, akan tetapi di wilayah kumuh perkotaan maupun perdesaan juga sudah mulai terlihat dan ada kecenderungan meningkat terutama untuk masalah kegemukan. Hal ini dapat dilihat pada Figure 11, analisis dari data HKI 1999 dan 2001 yang memisahkan dua ekstrim prevalensi kurus (IMT<18.5) dan prevalensi obesitas (IMT >30) pada wanita usia produktif. Pada daerah kumuh perkotaan (Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya), masalah kurus banyak terjadi pada usia muda, dan masalah obesitas sudah mulai terlihat pada usia 30 tahun ke atas dengan prevalensi >5%. Masalah obesitas pada usia >30 tahun ini meningkat dari tahun 1999 ke tahun 2001. Di wilayah perdesaan (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Lampung, Sumbar, Lombok, Sulsel), masalah yang sama sudah mulai tampak, hanya prevalensinya lebih rendah dari wilayah kumuh perkotaan. 

TBABS adalah survei untuk mengetahui tinggi badan rata-rata anak baru masuk sekolah (anak kelas I), dimana pengukuran dilakukan pada awal masuk sekolah. Dari kedua survei TBABS 1994 dan 1999, umur rata-rata anak masuk sekolah adalah 7 tahun (50%). Pada waktu pengukuran dijumpai anak usia 6 sampai dengan 9 tahun. Dari kedua survei; proporsi anak baru masuk sekolah usia 6 tahun meningkat dari 13.6% (1994) menjadi 16.4% (1999); dan proporsi anak baru masuk sekolah usia 9 tahun berkurang dari 8.2% (1994) menjadi 6.0% (1999).

Analisis Status Gizi dan Kesehatan

1. Status Kesehatan penduduk 
Status kesehatan dinilai berdasarkan usia harapan hidup, angka kematian bayi dan angka kematian balita. Figure 3 menunjukkan kecenderungan ketiga indikator tersebut, yang menunjukkan terjadinya peningkatan kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya usia harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi dan balita. 

Peningkatan status kesehatan ini tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Pada Figure 4 berikut ini menunjukkan pada tahun 2002, ada 65% kabupaten di Indonesia dengan AKB antara 25-50 per 1000 LH, bahkan 24% kabupaten dengan AKB >50%. Perbedaan yang menyolok juga terlihat antara Kota-Desa. Kajian Susenas 1995, 1998 dan 2001 menunjukan perbedaan Angka kematian Bayi maupun angka kematian balita sekitar 20 per 1000 antara Kota dan Desa. 

Indikator kesehatan lain yaitu angka kematian ibu (AKI) yang tidak mengalami perubahan yang berarti. Kecenderungan AKI per 100.000 kelahiran hidup diperkirakan dari SKRT yaitu: 618 (1986); 325 (1995); dan 377 (2001); atau dari SDKI yaitu: 380 (1994); dan 318 (1997).

2. Status gizi penduduk 
Berikut ini merupakan kajian status gizi penduduk menurut kelompok umur sampai dengan 2003 berkaitan dengan masalah gizi makro (khususnya Kurang Energi dan Protein) dan gizi mikro (khususnya Kurang Vitamin A, Anemia Gizi Besi, dan Gangguan Akibat Kurang Yodium). 

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR <2500 gram) 
Secara umum, Indonesia masih belum mempunyai angka untuk BBLR yang diperoleh berdasarkan survei nasional. Proporsi BBLR diketahui berdasarkan estimasi yang sifatnya sangat kasar diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan juga dari studi terserak. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, proporsi BBLR berkisar antara 7 – 16% selama periode 1986-1999, demikian juga dari studi terserak yang menunjukkan angka BBLR antara 10-16%. Jika proporsi ibu hamil yang akan melahirkan bayi adalah 2,5% dari total penduduk, maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai 710.000 dari 5 juta bayi lahir dengan kondisi BBLR. Kejadian BBLR ini erat kaitannya dengan gizi kurang sebelum dan selama kehamilan. Dampak dari tingginya angka BBLR ini akan berpengaruh pada tinggi rendahnya angka kematian bayi. 

Status gizi pada balita 

Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Gizi kurang pada balita ini dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan. Menurut Susenas, pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37,5% menurun menjadi 27,5% tahun 2003. Terjadi penurunan gizi kurang 10% atau sebesar 26,7% dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2003.

Tabel 2 menunjukkan jumlah penderita gizi buruk dan gizi kurang dengan memperhatikan jumlah penduduk dan proporsi balita pada tahun pengamatan yang sama. Dapat dilihat terjadi penurunan gizi kurang yang cukup berarti dari tahun 1989 : 7.986.279 menjadi 4.415.158 pada tahun 2000. Akan tetapi terjadi peningkatan kembali sesudah tahun 2000, dan pada tahun 2003 jumlah gizi kurang pada balita menjadi 5.117.409. Distribusi besaran masalah gizi menurut kabupaten dapat dilihat pada Figure 5. 

Perlu dicatat jumlah penderita gizi buruk yang terlihat meningkat cukup tajam dari tahun 1989 ke tahun 1995, kemudian cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Diperkirakan gambaran prevalensi gizi buruk ini ‘kurang akurat’ dan cenderung ‘over-estimate’. Prevalensi gizi buruk pada balita ini perlu di konfirmasi dengan hasil survei lainnya. SKRT pada tahun 2001 melaporkan prevalensi gizi buruk 8,5%, lebih tinggi dari Susenas pada tahun yang sama. HKI, di beberapa wilayah perdesaan di Sumatera barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi Selatan melaporkan prevalensi gizi buruk yang juga fluktuatif dari tahun 1998 sampai dengan 2001, berkisar dari 3.2% di Jawa Tengah sampai 9.1% di Lombok. Sementara pada daerah kumuh perkotaan, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar, prevalensi gizi buruk berkisar dari 4.3% di Jakarta sampai 11.8% di Makassar pada tahun 2002. 

Sedangkan prevalensi gizi kurang yang diperoleh dari Susenas, ada kemungkinan ‘under estimate’ jika dibandingkan dnegna survei/studi yang sama. Dari survei/studi ini, pada umumnya menunjukkan prevalensi gizi kurang lebih tinggi 5-7% dari perkiraan Susenas. 

Kajian gizi kurang lainnya adalah dari beberapa studi/survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif/peka dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti terlihat pada tabel 3 prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2SD) sesudah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting di atas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita. 

Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Tabel 4 menunjukkan prevalensi anak balita stunting dari tahun 1992 sampai dengan 2002 dari beberapa survei. Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek. 

Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualtias, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak bangsa. Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui kecenderungan masalah gizi dan kesehatan masyarakat serta determinan yang mempengaruhi masalah ini. 

Analisis menggunakan data utama dari Susenas 1989 sampai dengan 2003, dan data lainnya yang mempunyai informasi status gizi dan kesehatan masyarakat. Kajian dilakukan juga berdasarkan perbedaan antar kabupaten, antar provinsi, serta perbedaan antara perkotaan dan perdesaan. Cara “Bivariate dan Multivariate” analisis diaplikasikan pada penulisan ini untuk menjelaskan perubahan status gizi dan kesehatan masyarakat serta determinannya untuk dapat memberikan rekomendasi pada kebijakan program perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat dimasa yang akan datang. 

Hasil kajian ini secara umum menunjukkan bahwa masalah gizi dan kesehatan masyarakat masih cukup dominan. Dari indikator kesehatan, walaupun terjadi peningkatan status kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya umur harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi dan balita, akan tetapi masih tercatat sekitar 24% kabupaten/kota dengan angka kematian bayi >50 per 1000 lahir hidup. Penyebab kematian memasuki tahun 2000 masih didominasi penyakit infeksi dan meningkatnya penyakit sirkulasi dan pernafasan. Masih rendahnya status kesehatan ini antara lain disebabkan karena faktor lingkungan atau tercemarnya lingkungan air dan udara. Disamping itu, faktor perilaku juga berpengaruh untuk terjadinya penyakit kronis, seperti jantung, kanker, dan lain-lain. 

Tingginya angka kematian ini juga dampak dari kekurangan gizi pada penduduk. Mulai dari bayi dilahirkan, masalahnya sudah mulai muncul, yaitu dengan banyaknya bayi lahir dengan berat badan rencah (BBLR<2.5 Kg). Masalah ini berlanjut dengan tingginya masalah gizi kurang pada balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa sampai dengan usia lanjut. Hasil kajian lain yang tidak kalah pentingnya adalah semakin jelasnya fenomena “double burden” yang menimpa penduduk Indonesia terutama di wilayah perkotaan, ditandai dengan semakin meningkatnya masalah gizi lebih, serta meningkatnya proporsi ibu dengan gizi lebih yang mempunyai anak pendek atau kurus. Makalah ini juga mendiskusikan asumsi penurunan masalah gizi sampai dengan 2015 dengan berbagai alternatif intervensi. 

Peningkatan SDM ini untuk masa yang akan datang perlu dilakukan dengan memperbaiki atau memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih efektif, bermanfaat untuk kelompok sasaran terutama penduduk rawan dan miskin. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi pada penduduk menjadi prioritas, selain meningkatkan pendidikan dan mengurangi kemiskinan, terutama pada kabupaten/kota yang tingkat keparahannya sangat berat. Pelayanan kesehatan dan gizi untuk yang akan datang juga harus memperhatikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang akan membawa berbagai masalah lain. Dengan peningkatan kualitas intervensi kepada masyarakat, diasumsikan penurunan masalah gizi dan kesehatan masyarakat dapat tercapai.

Jenis-Jenis Penyakit Dalam

Semua jenis penyakit yang terjadi pada tubuh manusia selalu diawali dengan suatu proses, proses terbentuknya kanker memerlukan waktu yang cukup lama, kebanyakan berlangsung selama 15-25 tahun. Karena proses yang berlangsung lama, maka banyak penderita kanker (ketika memeriksa diri ke rumah sakit) baru menyadari bahwa yang di deritanya sudah dinyatakan parah (stadium lanjut) oleh dokter. Hal ini disebabkan karena penderita penyakit kanker tidak mengetahui sebelumnya atau terlambat mengetahuinya. 

Oleh sebab itu masyarakat perlu mengetahui gambaran singkat tentang bagaimana proses terjadinya kanker pada tubuh manusia.  Dengan munculnya berbagai macam benjolan, merupakan suatu tanda proses terbentuknya kanker, antara lain: 

« Kelenjar Getah Bening (KGB) 

Ada beberapa tempat di dalam tubuh manusia yang riskan akan munculnya KGB,antara lain : di belakang telinga, di leher bagian belakang, dan ketiak. Benjolan ini terkadang bisa hilang dengan sendirinya, tapi kadang-kadang juga tidak bisa hilang, bahkan semakin mengeras dan membentuk suatu jaringan tumor yang lambat laun akan berubah menjadi kanker. 

« Terbentuknya Jaringan Kista 

Kista adalah suatu benjolan yang berisi cairan berbentuk gel dan kista ini biasanya muncul di sekitar payudara dan rahim. 

« Terbentuknya Myoma 

Myoma adalah suatu benjolan yang berupa daging atau otot dan biasanya muncul di rahim. 

« Adanya Ganglion / Lipoma 

Ganglion adalah benjolan berada di dalam kulit di luar otot yang biasanya muncul di pergelangan tangan, pundak dan punggung. Contoh diatas adalah bentuk tumor jinak. Tumor jinak tersebut dapat berubah/ tumbuh menjadi tumor ganas atau disebut kanker kakau dibiarkan saja. Keberhasilan penyembuhan kanker sangat tergantung dari stadium atau tingkat kanker pada saat ditemukan/ didiagnosa.  Oleh karena itu, deteksi dini dan pengobatan yang cepat dan tepat oleh para ahli sesuai bidangnya sangat berpengaruh pada keberhasilan pengobatan.  Biasanya, jika pada tubuh penderita terdapat kanker, penderita akan mengalami keluhan-keluhan dan terdapat suatu gejala awal. 

Gejala-Gejala Penyakit Kanker 

1. Gejala Kanker Payudara: 
  • Kulit Payudara mulai bersisik dan mengeras lama- kelamaan akan mengkerut spt kulit jeruk. 
  • Munculnya benjolan disekitar payudara 
  • Lambat laun putting susu akan terlipat kedalam 
  • Puting susu terasa gatal dan muncul benjolan. 
  • Dari putting susu akan keluar cairan spt air susu walau sedang tidak menyusui. 
Untuk Mengetahui secara pasti adanya kanker di payudara sebaiknya melakukan test MAMMOGRAPHY  setiap setahun sekali. Atau dengan cara yang mudah. Yaitu dengan gerakan SADARI (pemeriksaan Payudara Sendiri). 

2. Gejala Kanker Rahim: 
  • Mengalami Menstruasi yg tidak teratur dan sekitar tulang panggul terasa nyeri ketika haid datang. 
  • Mengalami keputihan tidak kunjung sembuh dan berwarna kuning kehijauan. 
  • Bila melakukan hubungan suami istri akan terasa perih di sekitar rahim dan setelah berhubungan biasanya keluar bercak darah. 
  • Lakukan pemeriksaan PAPSMEAR setahun sekali. 

3. Gejala Kanker Prostat: 
  • Pembengkakan buah zakar 
  • Jika buang air kecil dan tidak lancar dan terasa sakit 
  • Sering mengalami kram di bawah pusar 
  • Sering mengalami ngompol tanpa sadar 
Faktor-Faktor Penyebab Kanker 

1. Faktor Genetik (keturunan) 

Seseorang yang mempunyai riwayat kanker, maka kecenderungan dalam keluarga akan terkena kanker lebih besar daripada seseorang yang tidak mempunyai garis keturunan kanker. 

2. Faktor Fisika-Kimia 

· Menonton TV lebih dari jam 11 malam 

· Penggunaan HP >30 menit 

· Penyimpanan HP di saku 

· Asap rokok, Polusi udara, Kosmetik(mercury) 

3. Faktor Makanan 

Faktor yang paling kuat pengaruhnya terhadap kanker, karena banyak yang mengandung KARSINOGEN. Antara lain: 

· Monosudium Glutamat/ MSG (Penyedap Rasa) 

· Natrium Benzoat/ NaBe (Zat Pengawet) 

· Borak, Formalin, Bleng (Zat Pengenyal) 

· Rodamin-B (Pewarna) 

· Sakarin (Pemanis) 

Cara Sehat Menhindari Penyakit Kanker 

1. Mengurangi Karsinogen 

2. Memperbanyak Anti Oksidan 
  • Sayur-mayur : brokoli, sawi, sayur hijau, pare, tomat, wortel 
  • Lauk Pauk: tempe, kedelai,iakn laut segar 
  • Buah-buahan: apel hijau, anggur, pear, melon,semangka. 
3. Olah raga secara teratur 

4. Imunotheraphy atau identik dengan imunisasi. Satu cara untuk menangkal sel kanker dan menggempur sel kanker yang mungkin sudah ada dalam tubuh. Dengan menggunakan tanaman herbal yang mengandung zat RIP (Ribozome In active Protein). Yaitu: 
  • Buah Mengkudu 
  • Bawang putih lanag/ tunggal 
  • Temu Putih (curcuma zedoaria) 
1. Asam Urat 

Asam urat disebabakan kandungan asam urat didalam darah tinggi. Asam urat adalah hasil metabolisme tubuh oleh salah satu unsur protein, zat purin. Dan ginjal adalah organ yang mengatur kestabilan kadarnya dalam tubuh dan akan membawa sisa asam urat ke pembuangan air seni. Namun jika kadar asam urat itu berlebihan, ginjal tidak akan sanggup mengaturnya sehingga kelebihan itu akan menumpuk pada jaringan dan sendi. 

Makanan untuk penderita asam urat: 

· Yang tidak boleh: makanan laut (udng, remis, tiram, kepiting), makanan kaleng (sarden, kornet sapi), berbagai jeroan (hati, ginjal, jantung, otak, paru, usus), buah-buahan tertentu (durian, alpukat, dan es kelapa). 

Bir, wiski, tape, anggur merah, tuak. 

· Makanan yang dibatasi: ikan, daging kambing, daging ayam, daging sapi, tempe, emping, kacang, oncom, brokoli, bayam, kangkung, kol dan tauge. 

· Makanan yang menghambat pengeluaran asam urat: alkohol, menu berlemak, kelaparan (diet). 

· Makanan yang diperbanyak: karbohidrat, buah sirsak, dan air minum. 

Sayuran:
  • Daun bayam, Kangkung, Daun Singkong, Daun Jambu Mete, Asparagus, Buncis dan Kembang Kol. Buah-buahan:
  • Durian, Alpukat, Nanas, AirKelapa  
  • Makanan\lauk pauk : Jeroan seperti hati,ginjal,limpa,babat, usus, paru dan otak- Makanan laut: udang,kerang, cumi, kepiting.- Makanan kaleng: kornet, sarden dan ekstrak daging- Telur- Kaldu atau kuah daging yang kental
  • Kacang-kacangan dan emping melinjo : Kacang Tanah, Kacang Hijau, Kacang Kedelai, Tempe, Tauco, Tauge, Oncom, Susu Kedelai. Kopi, teh dan coklat aman untuk penderita asam urat. 
Saat anda merasakan sakit asam urat, untuk tidak memijatnya. Karena kristal urat yang tersangkut di sendi menyerupai jarum-jarum halus. Bila sendi yang ada kristal uratnya dipijat berarti secara mekanis jarum-jarum kristal tersebut akan lebih keras menusuk permukaan sendi. 

2. Rematik 

Ciri-ciri yang mengalami rematik: 

Terasa nyeri di daerah persendian, pembengkakan, kemerahan, gangguan fungsi sendi, dan jaringan sekitarnya. Bahkan gangguan pada daerah sendi, otot, dan tendon. Rematik terdiri dari 4 macam. Yaitu Osteoarthritis yang disebabkan oleh pengapuran. Sekitar 50% keluhan nyeri sendi disebabkan oleh pengapuran. Rematik luar sendi yang menyerang jaringan di luar tulang rawan. Rematik peradangan dan Rematik yang disebabkan oleh pengeroposan. 

Makanan yang dianjurkan bagi penderita rematik: 
  1. Ikan yang sarat lemak sehat, omega-3 seperti salmon, halibut, tuna dan ikan kalengan (sarden). 
  2. Bila iakn dimasak dengan bumbu jahe, manfaat yang didapat bias dua kali lipat. 
  3. Jahe bersifat anti radang (antiinflamation). Jadi sebaiknya penderita rematik harus rutin meminum segelas teh jahe. 
  4. Ramuan tradisionsl rematik: sebanyak 5lembar daun singkong, 15 gram jahe merah, dan kapur sirih secukupnya dihaluskan dan ditambah air secukupnya. Setelah diaduk, ramuan dioleskan pada bagian tubuh yang sakit. 
3. Darah Tinggi 

Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal. Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHG. Hipertensi ada dua: 

Hipertensi primary: suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan factor lingkungan, seseorang yang pola makannya tidak tercontrol dan mengakibatkan kelebihan berat.badan atau bahkan obesitas, merpakan pencetus awal untuk terkena penyakit darah tinggi. Begitu pula yang beradadalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi. Dan orang2 yang kurang berolahraga. 

Hipertensi sekunder 

Bagi penderita hipertensi dianjurkan untuk mengkonsumsi beberapa makanan berikut: 
  1. Buah-buahan 
  2. Sayur. Sayur yang dapat digunakan untuk pencegahan hipertensi ini seperti seledri, bawang dan sayur hijau lainnya 
  3. Serat. Seperti Sayur, buah, padi-padian, kacang-kacangan, dan biji-bijian. 
  4. Karbohidrat jenis kompleks seperti nasi, pasta, kentang, roti. 
  5. Vitamin dan mineral 
  6. Teh 
Selain makanan-makanan yang dianjurkan, dalam usaha menerapkan pola hidup sehat, juga ada beberapa makana yang harus dihindari atau dibatasi, antara lain: 
  1. Makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru-paru, minyak kelapa, gajih, dll) 
  2. Makanan yang diolah menggunakan garam natrium, misalnya biscuit, cracer, keripik dan makanan kering yang asin. 
  3. Makanan atau minuman kaleng, contohnya adalah sarden, sosi, korned, soft drink dll. Hal ini dikarenakan makanan-makanan tersebut5 umumnya mengandung pengawet yang tidak baik bagi kesehatan. 
  4. Makanan yang diawetka (dendeng, asinan, ikan asin, telur asin, selai kacang, pindang dll) 
  5. Susu full cream, mentega, margarin, keju mayonise, serta sumber protein hewani yang mengandung banyak kpolesterol, seperti daging merah (baik sapi apalagi kambing), kuning telur, dan kulit ayam. 
  6. Penyedap makanan. 
  7. Alkohol serta makanan yang mengandung alkohol 
Hidup di jaman serba cepat dan serba instan membuat kita melakukan segalanya dengan cepat dan instant pula, termasuk untuk urusan perut alias makanan. Sesekali makan ‘sampah’ sih boleh-boleh saja, tapi ada baiknya jika kita mengimbanginya dengan makanan-makanan yang menyehatkan, apalagi jika makanan tersebut mampu memperlambat proses penuaan, meningkatkan daya tahan tubuh, melawan efek polusi, mencegah kanker, dan mengurangi resiko penyakit jantung dan osteoporosis.
Ada 10 jenis makanan yang bisa membantu Anda mendapatkan efek-efek hebat tersebut di atas. 

Mengkonsumsi beras merah. Beras merah adalah sumber protein yang baik, sumber mineral seperti selenium yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh, dan sumber vitamin B yang dapat menyehatkan sel-sel syaraf dan system pencernaan. Beras merah juga memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga dapat mencegah konstipasi. Jeruk adalah buah yang kaya akan vitamin C, beta karoten dan bioflavonoid yang keseluruhannya bersifat antioksidan. Vitamin C penting untuk daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan bersama dengan flavonoid dapat meningkatkan absorpsi zat besi dalam tubuh. Jeruk juga dapat mencegah transformasi nitrat. 
Aprikot juga memiliki beta karoten dan vitamin C, yaitu antioksidan yang mampu menyapu bersih radikal bebas dalam tubuh. Apricot segar adalah salah satu sumber betakaroten terbaik. Beta karoten adalah antioksidan yang berhubungan erat dengan rendahnya resiko katarak, stroke, penyakit jantung, dan beberapa jenis kanker. 

Brokoli, seperti halnya sayuran berwarna hijau tua lainnya, kaya akan kalsium, dan juga memiliki sifat anti-kanker karena kandungan beta-karoten, vitamin C dan seratnya. Studi di Amerika mengungkapkan bahwa orang-orang yang rutin mengkonsumsi brokoli tiap hari memiliki resiko kanker paru-paru lebih rendah. 
Ikan salmon adalah sumber protein yang sangat baik dan mengandung vitamin B dalam jumlah yang besar, yang dapat melindungi tubuh dari resiko anemia. 

Kacang ginjal atau kidney bean adalah sumber protein yang rendah lemak, dan juga mengandung serat khsusu yang dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dalam tubuh. Suatu penelitian mengungkapkan bahwa apabila kacang ginjal ditambahkan pada pola makan orang-orang dengan kadar lemak dan kolesterol yang tinggi dalam darah, ternyata kadar kolesterol dan lemaknya menurun. Sifat penurun kolesterol dan lemak dari kacang ini kemungkinan berasal dari kandungan protein dan seratnya. 

Oat. Sumber karbohidrat yang rendah lemak ini menghasilkan energi yang dilepaskan secara perlahan, juga mengandung.serat larut yang dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Penambahan oat ke menu makanan sebanyak 30-40 gram sehari, digabung dengan menu diet rendah lemak, dapat mengurangi kadar kolesterol sampai dengan sembilan persen. Oat juga menjadi sumber karbohidrat yang baik untuk para penderita diabetes. Walnut. Kaya akan minyak tak jenuh yang dapat mengurangi resiko penyakit jantung. Minyak Zaitun Apel 

Makanan yang baik untuk mengurangi resiko penyakit kanker : 
  1. Sayuran kubis-kubisan seperti brokoli, kol, dan kembang kol mengandung senyawa fitokimia yang bersifat antikanker 
  2. Diallyl sulfide dalam bawang putih Tunggal 
  3. Likopen dalam tomat 
  4. Polifenol dalam teh hijau 
  5. Revesratrol dalam anggur 
  6. Kurkumin dalam kunyit 
  7. Beberapa vitamin dan mineral seperti vitamin A (dalam bentuk betakaroten), B12, asam folat, C, D, E, dan mineral selenium 
  8. Ikan yang mengandung asam lemak omega-3 seperti tuna dan salmon, serta daging ayam tanpa kulit 
  9. Polifenol dalam teh hijau 
  10. Isoflavon dalam kedelai 
  11. Beta-karotin (wortel) 
Tips Menyusun Menu Untuk Kesehatan Jantung 
  1. Kebutuhan kalori disesuaikan dengan berat badan, usia dan kegiatan sehari-hari. 
  2. Bagi yang kegemukan, pemakaian minyak bisa dikurangi, misalnya unutk makanan yang seharusnya digoreng cukup ditumis. 
  3. Pilihlah daging atau ayam yang tidak berlemak atau dibersihkan dulu dari lemaknya ( misalnya dengan membuang kulit ayam untuk menghilangkan lemak. 
  4. Bagi penderita tekanan darah tinggi, kurangi penggunaan garam dari yang tercantum dalam resep makanan untuk orang normal. Hindari makanan yang diproses seperti ikan asin, courned beef, sosis dan lain-lain. 5. Sebaiknya banyak makan sayuran, dihidangkan dalam keadaan mentah berupa lalapan atau salad. 
  5. Pemakaian santan untuk pembuatan kue dapat dikurangi atau menggantikan santan dengan susu dicampur minyak non kolesterol. Untuk masakan, santan bisa diganti dengan kemiri. 
  6. Untuk lauk-pauk utamakan tahu, tempe, ikan dan yama. Batasi makan daging, kuning telur (putih telur bebas pemakaiannya). Hindari otak, jerihan, hati, butter dan lain-lain. 
  7. Bagi penderita diabetes, perlu diperhitungkan kembali kalorinya dan pemakaian gula bisa diganti dengan gula buatan. 
  8. Sebagai dessert, makananlah buah-buahan segar. Makan Pagi